Pages

Kamis, 22 September 2011

Roadshow Caraka di Fikom Untar: Karena Ada Kreasi dalam Rekreasi


Caraka, salah satu ajang festival kreatif khusus mahasiswa mengadakan roadshow ke Fikom Untar hari Rabu (21/9) lalu. Roadshow Caraka kali ini bertujuan mensosialisasikan tema festival tahun 2011, sekaligus mendorong partisipasi mahasiswa untuk mengikuti kompetisi. Tahun ini Caraka mengambil tema “Rekreasi Ide”.

Presentasi mengenai program Caraka disampaikan oleh Taufik, Wakil Ketua Festival. Dalam presentasinya, Taufik memaparkan bahwa mahasiswa saat ini adalah mahasiswa yang sangat mengandalkan internet. 

Informasi dari internet cenderung kering dari ide-ide segar karena cenderung mengambil pemikiran orang lain. Berkaitan dengan hal tersebut, Caraka menyerukan bahwa ide segar dapat muncul dari proses inovasi yang dilakukan oleh kaum muda. Pemahaman masalah akan lebih maksimal bila dilihat secara langsung di lapangan. Proses itulah yang disebut Caraka sebagai Rekreasi Ide. “Adalah lebih baik kalau kita nggak selalu mengandalkan internet.” ujar Taufik.

Di Festival Caraka tahun lalu, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Fikom yaitu I-Focus dan Creadzy sempat ikut berpartisipasi. Hanya saja, tahun kemarin mereka belum berhasil meraih posisi juara.

Tahun ini, festival Caraka diadakan di Paragon Mall Semarang pada tanggal 23 sampai 26 November. Terdapat tiga kategori kompetisi yaitu advertising (periklanan), photography (fotografi), dan graphic design (desain grafis). Karya mahasiswa ditunggu sampai tanggal 21 Oktober. Keterangan lebih lanjut dapat dibaca di www.carakafest.org. (Eilina Mariamele)

Selasa, 20 September 2011

SOTR ALA MAHASISWA UNIVERSITAS TARUMANAGARA

Sahur On The Road

SOTR atau lengkapnya Sahur On The Road adalah suatu kegiatan membagi-bagikan makanan kepada kaum-kaum termarjinalkan dan dilakukan pada saat menjelang sahur di bulan Ramadhan.

Rombongan dikawal Polisi
SOTR biasanya dilakukan oleh lembaga, organisasi atau bisa juga individu sebagai wujud kepedulian terhadap teman-teman yang membutuhkan. Namun, dewasa ini kegiatan SOTR kerap dicap jelek, karena banyak oknum yang menggelar SOTR sekedar untuk membentuk citra, meningkatkan popularitas dan sebagai ajang hura-hura dan gaya-gayaan. Tentu masih segar dalam ingatan kita, tentang seorang publik figur yang sengaja mengundang wartawan untuk meliput kegiatan SOTRnya, atau kecelakan tragis yang menimpa dua orang siswi salah satu sekolah di Jakarta.

Rombongan SOTR
SOTR sudah selayaknya dilakukan berdasarkan panggilan nurani yang peduli terhadap nasib-nasib teman-teman kita yang membutuhkan uluran tangan, bukan sekedar gaya-gaya atau ikut-ikutan. Hal inilah yang mendasari sekelompok mahasiswa Universitas Tarumanagara melalukan kegiatan Sahur on The Road pada kamis, (25/8) lalu.

Ada sekitar 70 mahasiswa berbagai fakultas turut ambil bagian pada acara ini. Kegiatan SOTR ini  merupakan perwujudan dari butir ketiga dari Tri Dharma perguruan tinggi, yakni pengabdian masyarakat. 

Sahur Bersama

“Sebagai seorang mahasiswa, kita beruntung karena dapat berkuliah. Berkuliah merupakan anugerah tersendiri mengingat banyak di luar sana teman-teman kita yang jangankan kuliah, untuk makan saja terkadang tidak cukup. Oleh karena itu, sudah selayaknya kita membagikan anugerah yang sudah kita peroleh itu, dengan melakukan kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan, seperti SOTR ini” ungkap salah satu peserta.

Foto Bersama

Acara ini sendiri berjalan dengan baik, tanpa ada kendala berarti. Sekitar 400 bungkus makanan yang dibagi-bagikan. Acara ini diakhir dengan Sahur dan foto bersama peserta. (Elwi-Oranye Media Fikom Untar)

[Miris] : Ke mana Kosa Kata Kanak-Kanak

Putu Elmira sedang memberikan pelajaran

Siang itu, sabtu tanggal 17 September 2011, aku punya janji untuk bergabung bersama teman-teman Agent of Hope, untuk memberi les kepada anak-anak kurang mampu di daerah Tanjung Duren, Jakarta Barat. Letaknya di sebuah Mesjid, dekat pinggiran kali yang bau dan jorok. Kemiskinan terhampar jelas di sini, berbanding terbalik dengan kehidupan glamor masyarakat metropolis ibu kota.

Kami ada bersebelas siang itu, terdiri dari berbagai kampus, tidak saling mengenal, tapi kami punya satu kesamaan, sama-sama peduli terhadap anak-anak marjinal ibu kota. Di pelataran mesjid yang tak terlalu luas itu, kami mengajarkan pelajaran matematika kepada anak-anak itu. Mereka dengan suka cita menyambut kehadiran kami.

Nurul Khotimah berfoto dengan salah satu anak didik

Ada satu hal menarik yang membuat saya sedikit tergelitik bila mengingat kejadian siang itu. Ada satu anak didik saya, Novi namanya, seorang bocah kelas 6 SD. Di sela-sela ia mengerjakan soal matematika yang saya berikan, saya sempat bertanya tentang hobi dia, ia pun menjawab dengan antusias.  “Novi suka bernyanyi, kak” ujarnya. “Novi suka nanyi lagu apa ?”, tanyaku lagi, dan jawabannya ini yang mengelitik hati saya.

“Novi sukanya nanyi lagu Cherry Belle sama lagunya SM*SH, kak”

Astaga Ojannnn. . .
Bayangkan seorang bocah kelas 6 SD, lagu kegemarannya Cherry Belle dan SM*SH..!!

Mengutip di situs metrotvnews.com, fenomena ini tidak bisa dianggap sebelah mata, bahkan ada seorang pakar psikolog, Rusdiah Agustina, mengatakan bahwa kosa kota anak-anak zaman sekarang sudah tercemar oleh kosa kata orang dewasa. Lirik lagu orang dewasa yang mengandung kata-kata vulgar seperti "bajingan", "selingkuh", "bercinta", atau "kurang ajar", "hamil", menjadi sedemikian mudah diucapkan anak-anak tanpa mereka tahu artinya.

Bahkan menurut Rusdiah, tidak jarang ada orang tua yang bangga mendengarkan anaknya sudah bisa melafalkan lagu-lagu orang dewasa itu. konsultan psikolog anak dan keluarga itu merasa prihatin dengan tidak berkembangnya lagu anak-anak di Indonesia. "Setidaknya dengan tayangan bermutu, mentalitas anak-anak Indonesia bisa terbentuk dengan baik," kata Rusdiah Agustina.

Sontak, saya merasa beruntung lahir di tahun 90-an, dan masih bisa mendengar lagu anak-anak, seperti yang dibawakan Trio Kwek-Kwek, Sherina, Joshua dan Tina Toon. (Elwi-Oranye-Fikom Untar)

Jadi Mata Harimau Untuk Selamatkan Harimau Sumatera


Komitmen Bersama Selamatkan Harimau Sumatera

Jumat, (16/9) Greenpeace Indonesia meluncurkan kampanye penyelamatan Harimau Sumatera yang kini jumlahnya kurang dari 400 ekor. Kampanye ini bertepatan dengan ulang tahun Greenpeace yang ke-40. Bertempat di teater kecil Taman Ismail Marzuki, Greenpeace Indonesia mengajak kita semua untuk peduli pada kelangsungan hidup Harimau-Harimau Sumatera yang tersisa.

Kampanye ini menampilkan  pameran foto, pemutaran film, pagelaran silat harimau, orasi dan peneguhan komitmen bersama penyelamatan Harimau Sumatera. Berbagai pihak hadir dalam kampanye ini antara lain, Kementrian Kehutanan, Kontras, LBH Jakarta, Walhi, dan komunitas masyarakat Minangkabau serta beberapa media.

Perusakan hutan tropis baik pembalakan liar maupun pembukaan perkebunan menjadi alasan utama menghilangnya sang raja hutan. Rumah terbaik bagi Harimau bukanlah perkebunan kelapa sawit, bukan juga apartemen-apartemen mewah, tetapi hutan hujan tropis yang terjaga kelestariannya, tapi sayang kini rumah sang raja semakin dekat dengan kehancuran.

Harimau Sumatera Menunggu Mati

Dari tiga jenis harimau yang ada di Indonesia, hanya Harimau Sumatera yang masih eksis sampai sekarang. Harimau Jawa sudah tak terlihat sejak 1930, Harimau Bali bahkan sudah tak terendus ratusan tahun lalu.

Ada sedikit cerita menarik tentang Harimau Bali. Kebetulan saya berangkat ke kampanye ini bersama dua teman baik saya, yakni Nurul dan Putu Elmira. Saya sempat bertanya kepada Putu yang asli Bali mengenai Harimau Bali, dan ia hanya menggeleng. “Emang ada Harimau Bali ?” ia malah balik bertanya.

Saya, bersama Nurul dan Putu Elmira

Mungkin nasib Harimau Sumatera sebentar lagi akan seperti saudaranya, Harimau Bali, dilupakan oleh generasi selanjutnya. Tapi kita bisa menghentikan hal itu sekarang, dengan menjadi bagian dari Greenpeace Indonesia melawan kekuatan kapital perusahaan-perusahaan besar perusak rumah sang raja. (Elwi Gito)


INILAH KPK VERSI FIKOM UNTAR

Tanggal 15 dan 16 Agustus, Universitas Tarumanagara menyelenggarakan acara penerimaan mahasiswa baru dengan tema KPK (Kegiatan Pembangunan Karakter). Tema ini khusus dirancang untuk membangun karakter kepribadian para mahasiswa.

Acara diawali dengan upacara di kampus 1. Protokol dari mahasiswa Fikom membuka upacara yang berlangsung sekitar 2 jam itu. Rektor Untar, Dr. Ir. Chairy, SE, MM, serta ketua BEM dan DPM Pusat memberikan kata sambutan dalam upacara. Menjelang selesainya upacara, diadakan pemakaian jas almamater bersama serta penurunan banner dari masing-masing fakultas.

Kegiatan setelah upacara diserahkan kepada masing- masing fakultas. Para mahasiswa baru Fikom dipandu oleh senior-senior menuju ke lantai 12 gedung utama. Di sana, para mahasiswa baru mendapat kuliah umum mengenai Fikom dan karater diri oleh Chelsea Gozali, salah satu dosen mata kuliah Etika & Pengembangan Kepribadian di Fikom.

Selesai kuliah umum, mahasiswa dibagi ke dalam 10 kelompok dengan seorang mentor. Mereka memainkan beberapa games, juga menunjukkan kebolehan atau bakat mereka. Ada yang berbicara bahasa Perancis, break dance, dan menari tarian tradisional Aceh. Tidak lupa juga, dalam acara tersebut diadakan perkenalan organisasi BEM Fikom yang diketuai Andhika dan DPM Fikom yang diketuai oleh Hendra W.

Hari kedua, acara dimulai dengan games yang dipandu oleh dua orang mahasiswa Fikom, Kelvin Sumito dan Nathania. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan pengenalan kegiatan minat bakat  Fikom Untar (Oranye, I-focus, serta Creadzy), dilanjutkan dengan pengenalan para dosen Fikom. Dua orang alumni Fikom, Martin dan Christina Alfiani turut membagikan pengalaman mereka tentang perkuliahan di Fikom Untar. Sharing para alumni membuat mahasiswa baru mengerti mereka tidak salah memilih Fikom Untar. 

Di penghujung acara, peserta beraksi menunjukkan talent yang telah dipersiapkan 2 hari. Talent show tersebut dimenangkan oleh kelompok 9 dengan mentor Jessica Bernadetta. Pemenang talent show mendapat hadiah dan berakhirlah acara KPK tahun 2011. (Fransisca Kosasih)

Rabu, 07 September 2011

Suatu Siang di Hari Idul Fitri: Libur Bagi Kita, Kerja Bagi Mereka


Idul Fitri adalah hari yang ditunggu-tunggu hampir seluruh masyarakat Indonesia, khususnya umat Muslim. Di saat itulah umat merayakan sukacita kemenangan setelah berpuasa sebulan penuh. Merayakan Idul Fitri juga tidak lepas dari tradisi berkumpul dengan keluarga. Para perantau ramai-ramai kembali ke kampung halaman masing-masing, menikmati liburan dan melepas kepenatan sejenak setelah sekian lama berkutat dengan rutinitas. Tapi pernahkah kita terpikir mengenai mereka yang tetap harus bekerja ketika hampir semua orang menikmati liburan?
Siang hari di hari pertama Idul Fitri (31/8), saya menyempatkan diri berkunjung ke salah satu pusat  perbelanjaan di daerah Puri, Jakarta Barat. Saat itu, suasana di sana tidak seperti biasanya. Pengunjung tidak sebanyak hari-hari biasa. Antrian di kasir pun sepi. Saya mengalihkan perhatian kepada karyawan-karyawan di pusat perbelanjaan tersebut. Mereka hanyut dalam pekerjaan mereka. Ada yang membersihkan lantai, melayani pengunjung, merapikan trolley, dan sebagainya. Entah kenapa, saat itu saya menangkap kemuraman di wajah para karyawan. Wajah mereka terlihat sedih dan lelah, gerak-gerik mereka terlihat tidak bersemangat. Entah apa yang mereka rasakan. Hati ini tiba-tiba berbisik, jangan-jangan mereka sedih karena tidak bisa berkumpul dengan orang tercinta di hari besar.

Kemudian kaki saya kembali melangkah ke pojok luar pusat perbelanjaan itu. Ada dua stand makanan ringan yang tampaknya sepi pembeli. Para penjaganya pun terlihat hanya diam dan termenung. Karena perut cukup lapar, saya memutuskan untuk membeli makanan di salah satu stand. Setelah memesan, saya mencoba sedikit berbasa-basi kepada si penjaga. Terdorong rasa penasaran, saya bertanya apakah mereka sedih ketika harus bekerja saat hari raya?

Atik, si penjaga stand mengatakan bahwa ia merasa sedikit sedih karena harus bekerja saat Lebaran. “Ada rasa bete juga sih, yah tapi mau gimana lagi,”ungkapnya polos. Atik berasal dari Kuningan, Jawa Barat. Setiap tahun biasanya ia mudik ke kampung dan merayakan Idul Fitri bersama keluarga.

Atik

Tahun ini Atik tidak bisa pulang kampung karena harus bekerja. Atik menceritakan, biasanya bila ia pulang kampung, ia menghabiskan waktu untuk mengobrol dan jalan-jalan dengan saudara-saudaranya. “Saya kangen mereka, Mbak.”ujar Atik ketika saya hendak beranjak.

Pengalaman siang itu memberikan suatu pelajaran. Ketika kita terbuai asyiknya liburan, ternyata ada Atik dan Atik-Atik lain yang tetap bekerja melayani kita yang sedang menikmati liburan. Berkat mereka, saat liburan kita tetap bisa memenuhi kebutuhan diri sendiri dan keluarga. Jangan lupakan mereka. (Eilina Mariamele)

Senin, 05 September 2011

Sisi Lain di Balik Megahnya Open House Istana

Antusiasme warga ingin bertemu Presiden

Siang itu, matahari tengah terik-teriknya menyinari kawasan silang Monas. Tampak seorang pria paruh baya tengah duduk di bawah pohon, mencoba berlindung dari sengat matahari. Pria paruh baya itu tengah menanti giliran untuk diangkut mobil polisi, guna bertemu bapak Presiden yang sedang menggelar open house.

Pria paruh baya itu bernama Supri. Pak Supri berusia 55 tahun, memiliki seorang istri yang ia cintai, dan 3 orang anak, buah cinta mereka. Sehari-hari, pak Supri memulung botol-botol bekas dan sampah plastik untuk ditukar dengan segenggam beras dan beberapa ribu rupiah. Hidupnya sangat sederhana, bila tidak mau dikatakan miskin. Namun, ia tetap bersyukur kepada Tuhan karena telah diberi pendamping yang setia dan anak-anak yang selalu menyemangatinya.

Aku dan pak Supri

Sejak selasa kemarin, pak Supri telah tiba di ibu kota. Tujuannya satu, bertemu langsung dengan bapak Presiden. Tak kurang dari 80 kilometer, pak Supri tempuh dari gubuknya di Karawang. Tak banyak bekal perjalanan yang ia sediakan, hanya sehelai pakaian yang ia kenakan, dan dua potong roti serta ongkos ke Jakarta. Ketika ditanya soal ongkos pulang ke Karawang, pak Supri hanya menggeleng.

“Ongkos pulang nanti baru dipikirkan, setelah bertemu bapak Presiden. Syukur-syukur diberi ongkos oleh Presiden” ungkapnya penuh harap.

Sepanjang hidupnya, pak Supri belum pernah bertemu langsung dengan bapak Presiden. Bagi beliau, dan warga miskin lainnya, bisa bertemu dengan Presiden merupakan rezeki yang luar biasa, ibarat mendapat durian runtuh.

Beliau sempat bercerita, bahwa saat ini yang terpenting baginya adalah bisa bertemu dengan bapak Presiden untuk berkeluh kesah sekaligus meminta kesediaan bapak presiden untuk mendoakan anak-anaknya agar kelak berguna bagi bangsa seperti bapak Presiden.

para tuna netra

Lain pak Supri, lain pula pak Dedi. Pak Dedi, seorang tuna netra dari Bandung. Menempuh perjalanan panjang sejak subuh hanya untuk bersalaman dengan bapak presiden.

berdesak-desakan

Pak Supri dan pak Dedi, hanya segelintir dari sekitar empat ribu orang yang hadir sore itu. Sebuah angka yang melebihi prediksi panitia pelaksana. Setiap tahun jumlah masyarakat yang ingin bertemu langsung dengan bapak Presiden selalu meningkat. Desak-desakan dan saling sikut adalah pemandangan lumrah. Setidaknya hal ini menunjukkan apresiasi masyarakat terhadap Presiden, dan sudah sepatutnya presiden membalas apresiasi tersebut dengan membuat kebijakan yang berpihak pada masyarakat. Elwi - Oranye - Fikom Untar.