Pages

Rabu, 18 Januari 2012

Korban Kekerasan Seksual, Dilecehkan Pelaku dan Media

Ibarat pepatah, “sudah jatuh tertimpa tangga pula”, begitulah nasib korban kekerasan seksual. Setelah menjadi korban oleh pelaku, mereka juga menjadi korban dari pemberitaan media yang memberi stigma pada korban.

Pemberitaan media yang secara gamblang menyebut identitas korban semakin membuat korban kejahatan seksual merasa tak berharga, lemah, terbuang, murung, mengucilkan diri, dan tak berdaya. Padahal sudah jelas tertuang dalam Kode Etik Jurnalistik pasal 5  “Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.” Namun, masih banyak media yang memilih untuk mempublikasikan korban kejahatan seksual. Alih-alih membantu, pengungkapan identitas ini malah membuat korban kejahatan seksual mengalamai trauma karena masyarakat semakin mengetahui permasalahan yang dihadapi.

Rabu, 11 Januari 2012 kemarin, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengadakan diskusi tentang “Etika Perlindungan Privasi dalam Peliputan Kejahatan Seksual” di kantor Komnas perempuan. Hadir sebagai narasumber antara lain, Uni Lubis (Dewan Pers), Helga Worotitjan (Lentera) dan Masruchah (wakil ketua Komnas Perempuan), dan  dimoderatori oleh Rach Alida Bahaweres dari AJI. Lebih dari 47 Jurnalis baik cetak, tv, maupun online ikut ambil bagian dari diskusi ini. Oranye Media Fikom Untar, juga turut ambil bagian dalam diskusi ini.

Helga Worotitjan
Seperti yang diungkapkan oleh Uni Lubis dalam diskusi, banyak jurnalis sering mengesampingkan hak-hak privasi korban dengan berlindung dibalik alasan The right of public to know dan freedom of press. Padahal, menghormati privasi korban kejahatan asusila adalah bagian dari hak privasi yang dijamin oleh konstitusi, dan harus dihormati oleh media.

Diskusi ini juga menyajikan data dan fakta tentang jumlah kasus kekerasaan seksual yang ada. Berdasarkan pantauan Komnas Perempuan pada 1998-2011, hampir seperempat kasus yang tercatat adalah kekerasan seksual atau 93.960 kasus kekerasan seksual dari 400.939 kasus yang terpantau. Lima jenis kejahatan seksual terbanyak adalah perkosaan (4.845 kasus), perdagangan perempuan untuk tujuan seksual (1.359 kasus), pelecehan seksual (1.049 kasus) penyiksaan seksual (672 kasus) dan eksploitasi seksual (342 kasus). Dan hampir sebagian besar dari kasus ini terjadi pada saat pacaran seperti yang diutarakan oleh Masruchah, wakil ketua komnas perempuan dalam diskusi tersebut.

Uni Lubis memaparkan materi
Peristiwa kekerasan seksual membunuh harga diri dan sebagian kehidupan korban. Ia merasa lebih rendah dibandingkan dengan orang lain pada umumnya. Demikian diungkap Helga Worotitjan, dari Lentera Indonesia. Helga Worotitjan juga mempopulerkan istilah penyintas. Penyintas adalah korban kejahatan yang sudah melewati masa-masa terberat setelah kejadian, berfungsi secara sosial dan berusaha berfungsi secara emosional.

“Banyak jurnlis ketika mewawancarai korban, justru malah menghadirkan trauma bagi korban. Waspadai stress trauma pada korban”, ungkap Helga Worotitjan.

Hal ini senada seperti yang diungkap oleh Uni Lubis, dari Dewan Pers,
“Sebelum meliput, saat mewawancara, mengedit dan menyajikan ke publik, pikirkan seandainya korban kejahatan yang akan kita beritakan adalah orang yang kita kenal, kita sayangi. Pikirkan jika media lain menulis tanpa empati, sebagaimana yang akan kita lakukan, bagaimana perasaan kita..?” tutupnya. (Elwi)

Senin, 09 Januari 2012

Freeport dan Mesuji : Sebuah Perjuangan Kemanusiaan


Tahun 2011 kemarin juga tahun-tahun sebelumnya ditutup dengan sekumpulan duka mendalam bagi bumi Pertiwi: sekumpulan duka yang seharusnya tidak terjadi, bahkan dalam pikiran sekalipun!! Sekumpulan duka yang murni sebagai bukti ketidakbecusan (atau ketidakmauan?) rezim penguasa dalam menjalankan fungsi sebagai pemimpin bangsa. Sekumpulan duka yang sama akhirnya menjadi suatu bentuk terhina dan terinjak-injaknya dasar negara ini : Pancasila. Bukan oleh Belanda, bukan oleh Jepang, bukan oleh siapa-siapa, tapi oleh mereka yang mengaku bertanah-air Indonesia.


Pancasila yang seharusnya kita junjung tinggi justru terhina dan terinjak-injak oleh mereka yang mengaku berbangsa Indonesia. Coba pikir, apakah Pancasila telah dijunjung tinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Dimana ‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’? Dimana ‘Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan’? Dimana ‘Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia’? Dimana itu semua? Apakah hanya ada dalam upacara-upacara belaka ?

Coba sejenak layangkan pandangan kita ke timur sana, ke tanah Papua yang begitu kaya emas, tembaga, serta uraniumnya. Namun serta merta Freeport datang dan mengeruk semuanya. Yang ditinggalkan hanyalah limbah, kerusakan kosmik, kerusakan tatanan sosial, sistem nilai, dsb. Sistem sosial masyarakat yang sangat komunal; hutan dan tanah dimiliki bersama, tiba-tiba dihancurkan dengan bermodalkan kertas kontrak pemerintah Orde Baru. Dan rakyat Papua? Mereka tetap tinggal dalam kemiskinan, listrik terbatas, dan lingkungan hancur. Mereka tinggal di bumi yang isinya dinikmati oleh  kapitalis asing dan oleh Pemerintah mereka sendiri, tanpa ada sedikitpun mereka dipikirkan. Belum lagi persoalan buruh-buruh lokal yang sedemikian rendah upahnya jika dibandingkan dengan kalangan ekspatriat. Betapa mereka mengangggap rendah kita. Padahal, mereka tinggal menumpang di tanah kita!! Ironisnya, pemerintah kini seolah-olah tidak mau membereskan segala ketidakadilan di  Papua sana. Itukah yang mereka katakan ‘Kemanusiaan yang adil dan beradab’? Dimana keadilan dan keberadaban ketika sekelompok manusia, demi perutnya sendiri, rela menginjak-injak manusia lain dan segenap hak-hak nya ?


Coba lihat juga ke Mesuji. Masyarakat petani di sana harus disiksa sedemikian rupa akibat mempertahankan hak-hak mereka. Mereka dibohongi, lahan tani mereka diambil demi keperluan investor asing dengan iming-iming pekerjaan yang mapan dan layak. Namun, akhirnya mereka malah dipekerjakan dengan upah yang minim dan tidak layak!! Apa yang pemerintah lakukan hingga kini? Tidak ada! Sekalipun ada, sangat lambat. Pelecehan terhadap kemanusiaan yang sedemikian besar ditanggapi  santai oleh pemerintah. Sementara di sisi lain, seorang bocah yang mencuri sandal seorang polisi seharga tiga puluh ribu saja, dihukum lima tahun!! Itukah ‘kemanusiaan yang adil dan beradab’ dan keadilan sosial ketika hukum digunakan untuk menindas yang lemah dan memperkuat yang berkuasa ?



Pancasila kita telah diinjak-injak, saudara-saudaraku!! Pancasila kita telah diinjak-injak oleh kerakusan para penguasa dahulu dan sekarang. Kemanusiaan itu telah diubah sebagai sebatas janji semata saat kampanye, dan nyatanya harus ada korban ketika kita menuntut ‘kemanusiaan’ itu. Pemerintah tak lebih dari sekedar rezim penghisap darah rakyat, dan aparat tak lebih dari abdi kepentingan penguasa. Kemanusiaan yang tidak adil dan tidak beradab, serta ketidakadilan sosial bagi seluruh rakyat merupakan bukti dari kerakyatan yang tidak dipimpin oleh hikmat, namun oleh kerakusan dan ketamakan penguasa. Inilah yang harus kita lawan. Cobalah setia pada kata hati, apakah ada kerelaan di hati, melihat saudara-saudara kita sedemikian terinjaknya, sama dengan Pancasila kita? Apakah para buruh dan para tani itu dengan palu dan aritnya harus memalu dan memotong kepala mereka yang duduk di rezim penuh kebohongan itu? Inilah perjuangan kelas, antara kaum buruh dan tani sebagai mereka yang tertindas dan kaum kapitalis sebagai mereka yang menindas. Kita, sebagai kaum terpelajar, harus adil. Mari kita suarakan keadilan walau hanya sedikit demi kesetiaan kita pada kata hati . Akhirnya, tulisan ini berakhir dengan sebuah kutipan dari seorang Pramoedya Ananta Toer: Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan!! (Jesse Adam)