Pages

Selasa, 29 Mei 2012

Selamatkan Aku


Tiada haru menanggung pilu melihat ia terdiam sendu
Kemanakah penerus budayaku?
Menghilang digerus waktu dengan caci yang memburu
Sungguh merindu mereka yang satu
 
Hei kau, si licik kaum-kaum borjuis, enyahlah atau kubuat kau menangis
Jangan bermimpi aku kan jadi pengemis
Takkan ada lagi tangan-tangan kecil akan mengubris
Polah menantang maut dengan wajah bengis
 
Gema suara yang kini terdengar hanya milik mereka
Mereka yang hilang ditelan angkara murka
Tidak hanya munafik menguasai ia , namun juga dunia
Atau senyum dibalik angkuhnya nirwana
 
Bangkit, bangkit dan bangkit!
Ini pilihan yang mudah tetapi juga sulit
Mereka harus kobarkan semangat walau terkadang pahit
Ia harus tetap tegak berdiri walau suasana menghimpit
 
Wahai Ibu kota kesayangan kita, Jakarta
Pemudi pemuda akan terus berada di sana
Di sisi suka maupun duka serta gundah gulana
Akan terselamatkan ia yang kusebut budaya
 
Pembakar semangat akan terus melangkah maju
Malu harus mengeluh melulu
Membangkitkan kembali kearifan yang dulu
Yang terampas karena tiada rasa pedulimu
 
Semangat tidaklah cukup untuk membuat semua kembali
Membuat semua utuh perlu nyali
Jangan gentar dengan cobaan yang menyapa hari demi hari
Taklukan mereka bagai hujan mendatangkan pelangi
 
Bila semua telah siaga, cahaya kemenangan akan menyapa
Tak peduli sedang berada dimana ia
Merayakan kebangkitan rekan-rekan kearifanmu, Jakarta
Ibu kota yang dipuja juga dihina



*) Puisi ini adalah karya Putu Elmira, mahasiswi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara yang diikutsertakan dalam lomba PEKSIMIDA di Jakarta, dan berhasil meraih juara 3.

Mempertahankan Keutuhanmu, Sastra


Saat ini, sastra menjadi topik yang sangat jarang diangkat ke publik. Kesan kolot menjadi pandangan miring mengenai sastra itu sendiri sampai keberadaannya semakin dilupakan. Namun, upaya penyelamatan sastra kini justru banyak dimulai oleh generasi muda penerus bangsa. Salah satu dari mereka adalah Arina Lestari (22) dan Mega Putri (20).

“Semenjak ada twitter, banyak komunitas sastra seperti fiksi mini atau puisi kita menjadi satu cara untuk memperkenalkan sastra di Indonesia,” ujar Mega, salah satu relawan Koin Sastra. Seiring berjalannya waktu, usaha-usaha untuk membangkitkan eksistensi sastra juga semakin gencar dilakukan. Hal inilah yang digerakan Komunitas Koin Sastra.


Komunitas ini melakukan penggalangan dana untuk terus mempertahankan karya-karya sastra. Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin menjadi pusat perhatian komunitas ini karena keberadaannya telah banyak ditinggalkan. Sungguh miris mengingat di dalam PDS HB Jassin banyak tersimpan karya sastra yang memiliki nilai sejarah tinggi. Kekhawatiran semacam inilah yang menggugah komunitas untuk berusaha menyelamatkan dan mempertahankan eksistensi sastra Indonesia.


Kegiatan penggalangan dana yang diselenggarakan Komunitas Koin Sastra untuk PDS HB Jassin dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya, lewat konser amal yang pengisi acaranya tidak dibayar sampai dengan kliping masal dimana orang-orang yang hadir menyumbangkan tenaganya untuk membuat kliping. Hasil dari penggalangan dana ini digunakan untuk pengembangan dan pemeliharaan karya-karya joleksi HB Jassin.

Harapan kedua sahabat Koin Sastra ini tidak muluk. Mereka hanya ingin terus tetap menyelamatkan sastra dan PDS HB Jassin dari kepunahan. “Semoga acara ini menjadi pencerahan kepada pemerintah maupun sastrawan-sastrawan diluar sana untuk lebih prihatin kepada PDS HB Jassin.” ujar Arina. Kekhawatiran Arina pun dirasakan pula oleh Mega. “Semoga akan ada acara-acara penggalangan dana selanjutnya. Dan untuk anak-anak muda saat ini, sastra itu sebenarnya menyenangkan karena dapat menjadi cerita untuk anak cucu di kemudian hari” ujar Mega, dengan senyum penuh harap.
                                                                        
                                                                                                                ( Putu Elmira – Oranye )

Senin, 14 Mei 2012

Suatu Siang di Metromini

Nenek itu memberhentikan sebuah metromini yang melaju di Jalan Daan Mogot. Tubuhnya kurus, postur tubuhnya telah bungkuk. Ia mengenakan daster motif batik yang panjangnya selutut. Tangannya menggenggam sebuat dompet kain hijau yang telah lusuh. Bersama calon penumpang lain ia berusaha untuk naik. Teriakan kondektur yang menyuruh penumpang bergegas membuat si nenek semakin berusaha untuk mempercepat gerakannya.


Sayang, ketika ia telah naik di bus, tidak ada tempat duduk yang tersedia bagi dirinya. Mata si nenek melirik kanan dan kiri, mencoba melihat kalau-kalau ada bangku kosong yang tersisa untuknya. Ternyata tidak ada satu pun bangku kosong tersedia.

Sementara di tempat duduk bus, nampak sejumlah lelaki dan perempuan yang terlihat sehat dan gagah perkasa. Ada lelaki berpenampilan rapi. Ia mengenakan kemeja biru muda, celana kain hitam dan sepatu pantofel. Ia terlihat sedang serius mengurus ponsel yang dipegangnya. Dua deret di belakangnya ada seorang bapak yang penampilannya lebih sederhana. Ia sedang menghisap rokoknya sambil melihat ke luar jendela. Di sisi bangku yang lain terdapat pula dua orang siswi SMA yang duduk berdampingan. Mereka tengah asyik mengobrol dengan suara yang cukup nyaring.

Para penumpang yang mendapat tempat duduk ini terlihat tidak peduli sama sekali dengan nenek yang tengah berdiri di lorong bagian depan bus. Si nenek tampak kepayahan menyeimbangkan dirinya di metromini yang jalannya begitu ngebut. Tubuh nenek itu sesekali nampak terhuyung ke kiri dan ke kanan, mencoba menyeimbangkan dirinya ketika kendaraan berbelok atau mengerem.

Kasus di atas adalah contoh sederhana bagaimana rasa peka menjadi semakin langka di tengah masyarakat. Inikah potret masyarakat kita? Ketika ada orang lain kesusahan di depan mata, kita seakan-akan buta (atau sengaja membutakan diri) untuk berbuat sesuatu. Kenyamanan dan keselamatan diri sendiri sudah pasti menjadi hal utama yang harus dipertahankan. Orang lain masa bodo! Yang penting saya dapatkan apa yang saya mau.


Menjadi peka bukanlah urusan sebagian kalangan saja. Menjadi peka adalah urusan setiap manusia dari berbagai generasi, jenis kelamin dan latar belakang. Kesadaran bahwa kita adalah makhluk sosial yang memiliki hati nurani menjadi dasar mengapa kepekaan penting untuk diterapkan.

Mahasiswa sebagai kaum intelektual pun memerlukan rasa peka untuk mengimbangi ilmu yang diterima di kampus. Bila hanya ada ilmu tanpa diikuti hati yang peka, bisa-bisa akan lahir lagi teroris macam dr. Azaharie. Atau seperti koruptor macam wakil-wakil kita di Senayan. Mereka wakil rakyat, tapi tidak peka dengan keadaan rakyat yang diwakilinya.

Indonesia sudah banyak memiliki manusia pintar. Namun, tidak banyak yang memiliki rasa peka. Apakah kita salah satunya? (Eilina-Oranye)

Minggu, 13 Mei 2012

UNTAR “MEMBEDAH” AMOY SINGKAWANG

Pernah dengar kata ‘amoy’? Kata tersebut menjadi fokus dalam novel terbaru Mya Ye berjudul Amoi yang dibedah dalam acara “Apresiasi Ragam Budaya Indonesia” di Universitas Tarumanagara, Rabu (2/5).
Kata ‘amoy’ berasal dari bahasa Hakka yang artinya merujuk pada perempuan muda (keturunan) Tionghoa yang belum menikah. Para amoy ini memiliki kisah tersendiri di Singkawang, salah satu kota yang terletak di Provinsi Kalimantan Barat. Di sana, kita dapat jumpai fenomena pernikahan para gadis ini dengan pria luar negeri yang berasal dari Taiwan, Hongkong atau Malaysia. Dinikahkan dengan pria “luar” menjadi jalan bagi para amoy ini untuk mengangkat derajat ekonomi keluarga. Hal tersebut juga dianggap sebagai wujud bakti si anak gadis pada orang tuanya.

Mya yang juga dosen di Fakultas Ilmu Komunikasi UNTAR ini menuturkan bahwa dirinya tidak sengaja mendapatkan inspirasi untuk menulis Amoi. “Awalnya sih nggak sengaja, kebetulan waktu itu sekalian travelling ke Singkawang,” tutur Mia.

Bersama Mia, hadir pula Ketua Lembaga Penelitian dan Publikasi Ilmiah UNTAR, Ir. Jap Tji Beng dan Yoseph Adi Prasetyo (Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia). Yoseph Adi yang biasa disapa Stanley menuturkan fakta-fakta penting terkait fenomena amoy singkawang.

Menikahkan anak perempuan sebagai cara atasi kemiskinan sebenarnya tidak jauh berbeda dengan praktik perdagangan manusia, yang telah memiliki peraturan sendiri dalam protokol PBB.

“Negara belum memberi perlindungan bagi mereka.” ujar Stanley.

Minimnya pendidikan yang diterima para amoy ini juga menjadi masalah tersendiri. Para dara tersebut kebanyakan hanya mengenyam pendidikan pada jenjang sekolah dasar. Kebanyakan dari mereka putus sekolah karena lebih memilih pintu pernikahan untuk melepas keluarga mereka dari jerat kemiskinan.

Menanggapi hal tersebut, Jap Tji Beng berpendapat bahwa pendidikan adalah kunci penting untuk keluar dari kemiskinan.

“Pemerintah harus menyediakan pendidikan gratis bagi mereka,” kata Jap di penghujung acara bedah buku. (elm/eil-oranye)

Selasa, 01 Mei 2012

May Day: Sejarah dan Makna

Setiap tanggal 1 Mei, seluruh dunia memperingati Hari Buruh atau sering disebut May Day. Hari tersebut adalah hari untuk memperingati betapa kerasnya perjuangan kaum buruh untuk mendapakan sistem kerja seperti saat ini. Sebelumnya, kaum buruh harus menghabiskan 18-20 jam sehari untuk bekerja. May day adalah saat dimana kelas buruh berkabung, sekaligus memberi pemaknaan bahwa kelas buruhlah yang tertindas dalam sistem kapitalisme. 

Selamat Hari Buruh !