Pages

Selasa, 26 Februari 2013

Dies Natalis XX PPMI Untuk Pertautan dan Kesatupaduan





Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) adalah sebuah wadah alternatif dan salah satu bagian dari wadah pers mahasiswa di Indonesia. Menjejaki usia ke-20, PPMI merayakan hari jadinya dengan menggelar serangkaian acara berupa seminar nasional, persma fair, temu alumni dan field trip.
 
Untuk mengenal PPMI lebih jauh, tim liputan Oranye berkesempatan untuk mewawancarai Sekretaris Jenderal Nasional PPMI periode 2012/2013. Berikut wawancara ekslusif kami dengan Defy Firman Al Hakim.

Apa yang menjadi tolak ukur keberhasilan PPMI dalam menyelenggarakan Dies Natalis XX PPMI? Dan sejauh mana tolak ukur tersebut berhasil tercapai?
Jadi begini. Dies Natalis ini digelar sebagai ajang evaluasi tengah kepengurusan PPMI. Tolak ukur keberhasilannya adalah teman-teman paham apa yang harus dilakukan dan dikerjakan(dalam kepengurusannya). Bagaimana berhubungan dalam satu organisasi, LPM dan antar dewan kota. Jadi, tolak ukur yang kedua adalah informasi tersebut dapat didistribusikan dan dilaksanakan dengan baik oleh teman-teman di masing-masing daerah.

Berdasarkan rapat evaluasi tengah kepengurusan ini, apa kesimpulan yang didapat?
Salah satu kelemahan yang harus diperbaiki ialah pola komunikasi antar daerah. Terutama teman-teman LPM, masih ada yang menganggap kegiatan PPMI dan LPM itu berbeda, padahal tidak. Contohnya, aku berasal dari pers mahasiswa. Ketika aku terpilih menjadi Sekjen Nasional (PPMI), (otomatis) LPM-ku menjadi sekjen nasional.

Melihat atmosfer rapat evaluasi tengah kepengurusan PPMI yang sedemikian panas, bagaimana solusinya?
Selain masalah roda organisasi dan isu bersama, Dies Natalis ini juga ingin mengingatkan kembali bahwa ada 3 hal yang harus dibawa pulang. Pertama, menyadarkan kembali LPM di seluruh daerah tentang paradigma klasik pers. Sehebat apapun LPM-nya, tidak akan mampu mengangkat (suatu) isu secara penuh. Jadi agar tidak dikatakan onani, kita musti bertautan untuk mengangkat isu itu. Tautan ini, di samping kesalahpahaman yang ada juga diharapkan mampu menumbuhkan kepedulian antar LPM. LPM yang besar tidak sombong. LPM kecil juga tidak menjadi minder. Bersatu-padu ke posisi tawar pers Indonesia.

Kedua, mengingatkan kembali bahwa ada media alternatif lain, yakni seperti Tv dan radio kampus yang selama ini belum kita ajak. Harapannya suatu saat kita bisa berjalan bersama-sama sehingga lebih kuat lagi membentuk opini publik.

Ketiga, masalah cerdas bermedia. Kita adalah pers mahasiswa yang masih belajar bermedia. Kita harus belajar (mengenai) media yang baik itu seperti apa, bagaimana memfilter media. Laah, diharapkan teman-teman LPM dapat mentransformasikan cerdas bermedia itu ke publik umum. Minimal ke kampus masing-masing. Sebab terkadang orang tidak sadar (adanya) setting media.

Sebenarnya apa masalah utama LPM-LPM yang tergabung dalam PPMI?
Ada 2 masalah utama yang membuat kami tidak satu padu, (yakni) LPM-LPM masih tidak paham bagaimana bermedia alternatif dan yang kedua adalah ego LPM atau kedaerahan, ego almamater. Contohnya saat ada undangan dari LPM kecil, mereka yang dari LPM besar akan berpikir, ‘sorry laah, aku dapat apa dari sana?!’ Naah, masalah-masalah seperti inilah yang ingin kita kikis supaya ada ketertautan itu.

Namun saya yakin, dari Dies Natalis kemarin ada kesadaran sedikit. ‘Ooh..aku ada teman, aku tidak sendiri. LPM ini tidak sendiri.’ Kerentetan dan pertautan LPM di Indonesia ini tidak peduli daerah tapi yang penting bagaimana kita dapat mengangkat isu bersama-sama.

Sejauh apa bantuan yang diberikan PPMI bagi LPM-LPM daerah?
Kita di PPMI ini (orientasinya dari) LPM untuk LPM. Adapun yang dibantu PPMI adalah menjadi mediator antar LPM-LPM daerah. Mediator dalam menggelar acara, pembacaan isu bersama. Contohnya, isu bersama kita tahun ini (tentang) lingkungan. (Kami juga memediasi) bagaimana kita bisa mengangkat isu secara general dari daerah ke daerah.

Adakah bantuan keuangan dari PPMI ke LPM?
PPMI sendiri menghindari intervensi modal-modal besar. Oleh karena itu, kami juga berusaha mengoptimalkan media online. Dan untuk menjaga independensi, tidak ada bantuan dana untuk daerah-daerah. Kalaupun kami perlu dana untuk acara, kami bisa menggalang dana sendiri dari organisasional dan alumni.

Kami agak sensitif dengan dana internasional. Banyak hal dari luar negeri yang tidak baik untuk kita. Atas nama HAM, mereka memrotoli NKRI. Atas nama Feminisme, perempuan dijadikan upah negeri sehingga anak-anak pendidikannya tidak terkawal dengan baik.

Terakhir, apa harapan Deffy untuk keberlangsungan PPMI?
Yang jelas harapan untuk periodeku ini, mengingatkan kembali bahwa teman-teman LPM itu hanya LPM, musti bertautan. Masalah kita output-nya nanti ke mana itu terakhir. Yang penting ketika kita bermedia alternatif ini isu yang kita kawal ini disuarakan bersama. Harus bareng agar pers mahasiswa ini semakin kuat dan dilihat, tidak hanya menjadi UKM.  Terutama dilihat oleh publik Indonesia, khususnya Dewan Pers karena mereka masih meremehkan kita. Padahal apa yang kita lakukan ini tidak main-main.

Satu lagi, website kita bersama sekarang ini masih fokus ke isu kota dan sebagai sekretariat online. Kalau mau berjalan bagus, (situs non-profit) ini ke depannya kita akan bikin portal berita yang cakupannya lebih luas. Segala angle permasalahan kita bahas di sana dengan paradigma pers mahasiswa yang apa adanya, tanpa ada kepentingan pemodal. Dan yang berhak masuk ke sana adalah setiap anggota LPM yang terdaftar dalam LPM-nya yang diserahkan ke dewan kota dan (selanjutnya) ke dewan nasional.

Bayangkan, nantinya akan ada portal berita seperti situs dotcom di kota-kota besar. Namun tulisannya berasal dari kontributor pers mahasiswa di seluruh Indonesia. Jika task ini sukses, sudah, PPMI yang selama ini dipertanyakan eksistensinya tidak dipandang sebelah mata atau seputar kampus lagi.

(Tim Liputan Oranye)

Senin, 25 Februari 2013

Seminar Nasional : “Karpet Merah Untuk Ekonomi Hijau”



Acara Seminar Nasional “Karpet Merah Untuk Ekonomi Hijau” baru akan dimulai pukul 09.00 pagi. Namun, sejak pukul 08.00 para peserta sudah mulai memadati Hall A Plaza Bapindo Lantai 9, tempat berlangsungnya seminar. Tepat pukul 09.00, MC membuka acara yang kemudian dilanjutkan dengan kata sambutan dari perwakilan Kemitraan (Partnership).

                Seminar masuk ke sesi pertama yang bertemakan “REDD+ Sebagai Upaya Indonesia Menuju Ekonomi Hijau” dengan menghadirkan 3 pembicara antara lain Kelompok Kerja Strategis Nasional REDD+, Mubariq Ahmad dari Tim Telaahan Strategis Sekretariat, Sarwono Kusumaatmadja, dan Kepala Dinas Kehutanan Kalimantan Tengah, Sipet Hermanto. Sesi ini dimoderatori Wimar Witoelar dari Yayasan Perspektif Baru.
Dari kiri ke kanan : Kepala Dinas Kehutanan Sipet Hermanto, Sarwono Kusumaatmadja dari Tim Telaah Strategis Sekretariat, Mubariq Ahmad dari Kelompok Kerja Strategis Nasional REDD+, dan moderator Wimar Witoelar dari Yayasan Perspektif Baru.

                Perlu diketahui, REDD+ merupakan akronim dari Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation, adalah suatu langkah yang mampu menjembatani ekonomi hijau di Indonesia. Mubariq Ahmad mengakui, saat ini REDD+ masih belum memiliki kelembagaan dan payung hukum akibat beberapa alasan, salah satunya adalah kekhawatiran adanya tumpang tindih kewenangan antarinstansi.

                Selanjutnya, Sarwono menyatakan, ekonomi hijau mampu menghadirkan Competitive Advantage bagi ekonomi Indonesia di kancah internasional. Menurutnya lagi, ekonomi hijau ini sangat sesuai dengan karakter sumber daya alam Indonesia. Beliau sempat mengkritisi janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di panggung internasional yang menyatakan komitmen pengurangan emisi sebesar 26% dengan kekuatan sendiri dan 41% dengan kerjasama internasional pada tahun 2020. Menurutnya, penyampaian itu tidak disertai pemaparan matematis dari mana angka itu (26% dan 41%) didapat.

                Sesi pertama diakhiri dengan tanya jawab yang disambut antusias oleh para peserta seminar. Namun, karena keterbatasan waktu tidak semua pertanyaan dapat ditampung. Acara kemudian dilanjutkan dengan sesi kedua yang bertemakan “Menyingkirkan Benalu dari Pohon Ekonomi Hijau”.

                Pada sesi kedua hadir Martua Sirait dari Dewan Kehutanan Nasional, Rifqi Assegaf dan Asisten Deputi 6 Bidang Hukum UKP4 dan Direktur Eksekutif WALHI, Abetnego Tarigan. Sesi kedua berfokus pada pemanfaatan hutan yang sering menjadi sengketa antara pengusaha dengan warga lokal. Martua Sirait menggambarkan ketimpangan tata kelola hutan di Indonesia dengan data statistik dimana hanya 0.25 juta hektar kawasan hutan yang boleh dikelola masyarakat sedangkan 35,8 juta hektar diperuntukkan untuk Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hak Penguasa Hutan (HPH).
Dari Kiri ke kanan : Martua Sirait dari Dewan Kehutanan Nasional, Rifqi Assegaf selaku Asisten Deputi 6 Bidang Hukum UKP4 dan Direktur Eksekutif WALHI, Abetnego Tarigan

                Sedangkan Rifqi Assegaf berfokus pada penyelesaian masalah sengketa lahan yang ditangani secara ad-hoc atau kasus per kasus sehingga tidak mampu menyentuh akar persoalan selama ini. Selain itu, menurutnya penyelesaian sengketa lahan juga cenderung sektoral.

                Walaupun berlangsung selama 4 jam, antusias para peserta tetap tinggi hingga akhir acara. Sesekali Wimar Witoelar mengeluarkan celetukan yang mengundang tawa dari peserta. Oranye menutup tulisan ini dengan satu kalimat yang diucapkan oleh Wimar bahwa sesuatu yang benar harus terus disampaikan berulang-ulang. (Willy/Bima)

Kamis, 21 Februari 2013

Oranye Juara Fotografi Persma Fair


Pergi ke Bali tidak lengkap rasanya tanpa membawa oleh-oleh. Berkesempatan "dinas" ke pulau dewata Oranye membawa sebuah cinderamata bagi Universitas Tarumanagara. Bukan sebuah benda  apalagi jajanan khas berselera melainkan sebuah “nama” dan piala!

Oranye yang diwakili oleh Etika Widya Kusumadewi atau akrab disapa Tika, BERHASIL memenangkan lomba Fotografi dalam Persma Fair pada 16 Februari lalu. Persma Fair adalah perlombaan berskala nasional yang merupakan rangkaian acara Dies Natalis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) XX yang diikuti seluruh anggota PPMI. Selain fotografi, ada pula lomba karikatur. Keduanya mengambil tema “save our nature”. Acara ini bertempat di Universitas Hindu Indonesia, Tembau, Denpasar, Bali. 

Dies Natalis PPMI XX merupakan agenda tahunan untuk mengevaluasi kerja PPMI Nasional serta sebagai forum reuni akbar alumni & anggota PPMI yang tersebar di seluruh pelosok nusantara. Oranye dikirim pihak universitas mengingat sebagai satu-satunya kajian pers mahasiswa di Untar.

Saat penyerahan piala di depan 237 peserta yang notabene insan pers mahasiswa, Tika menjelaskan bahwa foto ini diambil di Pantai Dadap yang kini sudah ditutup untuk umum dan sekarang dikelola PT Angkasa Pura. Foto ini menunjukan kebahagiaan yang tulus dimana sampah yang mencemarkan pantai tidak mengalahkan hasrat sekumpulan anak kecil untuk bersenang-senang menghabiskan masa bermainnya.

 “Foto itu mempunyai pesan bahwa tidak ada ruang yang bebas sampah untuk anak bermain.” ungkap Tika.

Foto ini menarik perhatian para dewan juri yang merupakan fotografer profesional di Bali. Dalam rincian penilaian, poin Tika hanya terpaut tipis dengan pesaing terdekatnya. Sedangkan untuk lomba karikatur direbut oleh peserta asal Yogyakarta. (rez)

Rabu, 20 Februari 2013

Dies Natalis XX Perhimpunan Pers Nasional Indonesia

--> Setelah sebelumnya berkunjung ke Yogyakarta, Lembaga Minat Bakat Jurnalistik Oranye kini terbang ke pulau dewata, Kamis hingga Minggu (14 – 17 Februari). Oranye memenuhi undangan Dies Natalis XX PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia) di Universitas Hindu Indonesia (UNHI), Tembau, Denpasar.

Dies Natalis dengan tema “Mendorong Keterbukaan Informasi dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam” mempunyai serangkaian acara meliputi seminar nasional (15-16 Februari), pameran pers mahasiswa, evaluasi tengah tahun PPMI, temu alumni dan field trip. Acara ini dihadiri berbagai lembaga pers mahasiswa dari berbagai daerah. 

Seminar nasional hari pertama (15/2) mengangkat tema "Mendorong Keterbukaan Informasi dalam Pengelolaan Sumber daya Alam." Di hari selanjutnya, tema seminar yang dilangsungkan adalah "Mengembalikan Paradigma Klasik Pers Mahasiswa".

Ini pertama kalinya bagi Oranye mewakili Universitas Tarumanagara menghadiri acara nasional PPMI. Menjadi suatu kebanggaan bagi Oranye, salah satu Tim Oranye yakni Etika Widya Kusumadewi memperoleh poin tertinggi dan menjadi juara pertama lomba fotografi “Save Our Nature”. (Sil/Tik)

Minggu, 17 Februari 2013

Laporan Akhir Mahasiswa: Tentukan "Pisau"-mu!

Pembuatan skripsi atau laporan bagi mahasiswa tingkat akhir seringkali dipandang menakutkan. Bayangan sulitnya menganalisis dan mengolah data atau angka tidak jarang membuat para calon sarjana mengerutkan kening.

Menyadari hal tersebut, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara menyelenggarakan kuliah umum Metode Penelitian Komunikasi (MPK)  bagi para mahasiswa tingkat akhir, Jumat, (15/2). Hadir sebagai pembicara Dr. Farid Hamid, M. SI, Ketua Program Magister Ilmu Komunikasi Universitas Mercubuana.

Dalam pemaparannya Farid menjelaskan, batas antara disiplin ilmu masa kini terasa semakin "cair". Kajian ilmu komunikasi memiliki relevansi dengan disiplin ilmu lain, sehingga ranah penelitian begitu luas. 

Pembahasan pada kuliah umum tersebut terfokus pada metode kualitatif. Berkaitan dengan hal tersebut, Farid menuturkan, "Jangan menggunakan penelitian kualitatif untuk menghindari statistik!" Ia pun menambahkan, hal terpenting adalah para mahasiswa paham betul dengan fenomena yang akan diteliti. Setelah itu, barulah para mahasiswa menentukan "pisau" metode apa yang paling cocok untuk "mengupas" fenomena tersebut. 

Di sembilan puluh menit pertemuan, Farid mengupas serba-serbi metode penelitian kualitatif. Salah satu poin yang dipaparkan adalah ciri penelitian kualitatif yang baik. Farid menjelaskan, konsistensi adalah hal mutlak dalam penyusunan laporan penelitian. Selain itu deskripsi detail serta bahasa yang memikat juga perlu diterapkan agar penelitian berhasil. 

Dengan adanya kuliah umum semacam ini, diharapkan para mahasiswa yang akan menyusun skripsi makin tercerahkan dan dapat mengerjakan laporan akhir secara maksimal. (eilin)