|
Sumber : www.femina.co.id |
Dalam
teorinya, jurnalistik selalu mengajarkan bahwa wartawan wajib mewartakan
kebenaran bagi masyarakat. Sungguh hal yang mulia untuk direalisasikan. Pewarta
kebenaran yang terdengar bak injili. Diajarkan juga bahwa wartawan harus
mengolah beritanya secara objektif. Bagaimanakah kebenaran objektif yang hakiki
itu? Dan apakah dengan demikian wartawan dapat didalihkan sebagai pihak yang
selalu benar?
Sehingga
dengan demikian tidak bisa dan tiada boleh mereka dicela. Wartawan sudah
bekerja sebaik-baiknya, menelaah berita berdasarkan fakta di lapangan, mengutip
sesuai narasumber. Namun sekali lagi, apakah wartawan dapat dikatakan pihak
yang selalu benar?
Hemat
saya, tiada lah kebenaran yang hakiki itu. Relatif, kalau kata Albert Einstein.
Hanya Tuhan yang Mahabenar ujar para teolog. Sesuatu yang sulit diukur, walau
bukan mustahil diperhitungkan.
Saya
percaya bahwa rekan jurnalis terlepas dari segala kepentingan dan tuntutan, pada
dasarnya mengumbar berita guna menjadi informasi yang berguna bagi khalayaknya.
Namun perlu kita ingat, jurnalis juga manusia. Ia tak luput dari kesalahan.
Jurnalis berfungsi sebagai watchdog
pemerintahan, penyambung lidah antara pemangku dan penduduk. Selaku pilar
demokrasi keempat, atas nama demokrasi, kedaulatan tertinggi di tangan rakyat.
Berarti, pers yang notabenenya demokratis, bertanggungjawab kepada rakyat.
Hak Jawab
Rakyat
memiliki hak jawab, jurnalis wajib menghormati off the record. Khalayak pembaca, pemirsa, baik
yang berpendidikan maupun kurang bahkan tidak terpelajar berhak memperbaiki
kekeliruan yang dilakukan para jurnalis. Benar, pasti profesionalitas jurnalis lebih
mengerti pengolahan berita : teknik mewawancara, memilah narasumber, mengutip
ungkapan, kode etik, cover both or multi
side, sampai kepada penyeleksian kata-kata menjadi rangkaian kalimat untuk
disajikan ke hadapan khalayak. Namun bukan berarti pengetahuan dan kecakapan
profesional ini boleh mengabaikan hak kaum awam dan atau non-profesional dalam
menggunakan hak jawabnya. Tetap, khalayak berhak memperoleh kebenaran yang
akurat, dan pihak pewarta berkewajiban menyajikan fakta yang layak untuk itu.
Ejaan
yang disempurnakan, perluasan dan penyempitan akan suatu istilah tentu lebih
dipahami para jurnalis yang berkubang dalam dunia tulis-menulis ini. Penyajian
berita yang faktual seturut perkembangan jaman menjadi kebanggaan mereka. Namun
bagaimana bisa diksi mereka begitu ketinggalan jaman?
Ospek
(Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus), misalnya dikenal oleh angkatan tua
sebagai masa orientasi mahasiswa/i baru yang lekat dengan kekerasan-senioritas.
Di mana penyajian kebenaran yang dibangga-banggakan wartawan ketika kegiatan Ospek
ini telah ditinggalkan dan yang ada hanya PMB (Penerimaan Mahasiswa Baru). PMB
yang dijalani dengan menyenangkan dan keakraban senior dan junior. Bukankan
diksi begitu dijunjung tinggi dalam dunia jurnalistik? Di manakah diksi yang
menerapkan asas praduga tak bersalah itu? Bagaimana bisa hanya karena sebuah
diksi yang keliru merusakkan susu sebelanga? Tercoreng nama satu institusi
perguruan tinggi yang nyatanya karena oknum bukan karena Ospek. Kepada siapa
loyalitas jurnalis sepatutnya ditujukan, kepada khalayak ataukah budaya populer?
Move On
dari Kekerasan
Pers
memiliki sejarah panjang nan penting kedudukannya dalam proses kenegaraan di
Indonesia. Jatuh bangun sejak era kolonial, Orde Lama (Orla), Orde Baru (Orba)
hingga era reformasi dan kini demokrasi. Masih, HAM dan keadilan bagi pers
terabaikan. Kasus-kasus kekerasan terhadap pers serupa kasus pembunuhan Jurnalis
Harian Bernas Fuad Mohammad Syafruddin, Jurnalis Harian Sinar Pagi Naimullah,
Jurnalis Asia Press Agus Mulyawan, Jurnalis RCTI Ersa Siregar yang hingga kini
tidak kunjung tuntas, nampaknya belum membuat negeri ini jera mengubur
kebenaran, menggerakan sejarah peradaban bangsa menuju madani. Belum move on,
istilahnya.
Sering
kali, menjadi sebuah tantangan besar bagi wartawan di pelbagai kalangan di mana
pun mereka berada untuk menyiarkan fakta konflik. Tidak jarang, nyawalah taruhannya.
Persinggungan akan pemberitaan antara jurnalis dan khalayak tidak hanya terjadi
dalam dunia profesional. Akhir-akhir ini, pers pra-profesional, yakni pers
mahasiswa (persma) acapkali mengalami tekanan yang serupa.
Jumat,
23 Agustus lalu contohnya terjadi pemukulan terhadap anggota persma Universitas
Negeri Jakarta (UNJ), Didaktika oleh 5 oknum mahasiswa Fakultas Ilmu
Keolahragaan (FIK) UNJ. Pemicunya ialah ketidaksenangan mereka terkait
pemberitaan kasus perkelahian antara mahasiswa baru FIK dan mahasiswa Fakultas
Ekonomi (FE) yang dimuat Didaktika dalam buletin Warta MPA 2013 Edisi IV
artikel MPA, Riwayatmu Kini yang ditulis oleh reporter
Didaktika Chairul Anwar.
Hemat
saya, sah-sah saja melancarkan kritik sosial kepada media yang bersangkutan. Asal,
mengikuti aturan yang berlaku. Dalam dunia jurnalistik, dikenal kaidah-kaidah
untuk menyampaikan kritik dan saran pembaca kepada redaksi media yang
bersangkutan, yakni melalui surat pembaca yang merupakan kolom hak jawab
pembaca atas kekeliruan pemberitaan yang diterbitkan media tersebut.
Ini
negara hukum, Bung. Apa bedanya hakim-hakim (yang notabenenya) profesional di
sana dengan oknum garis keras tersebut di atas jika sama-sama main hakim
sendiri?
Seperti
yang tertera dalam UU Pers No.40 tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ),
pers wajib menghormati dan memberikan akses yang proporsional bagi masyarakat
menyampaikan tanggapan dan sanggahan akan suatu karya jurnalistik yang
melanggar KEJ, terutama kekeliruan dan ketidakakuratan fakta yang merugikan
nama baik kepada pers melalui suatu hak yang disebut hak jawab.
Naah,
di poin keduanya juga dijelaskan, “hak jawab berasaskan keadilan, kepentingan
umum, proporsionalitas dan profesionalitas.” Jadi, selaku khalayak beradab yang
melek hukum, yang pastinya juga tidak mau disalahi media, seyogianya move on
dari jalan keras yang, sudahlah, tahu sendiri, tiada guna dilakukan terhadap
nyamuk pers. Jasmerah, belajarlah
dari sejarah.
Kesimpulan
Berbesar
hati untuk sebuah kekeliruan merupakan hal yang wajib dijunjung. Terkadang,
dibutuhkan kegagalan-kegagalan untuk mengajarkan kita konsistensi dan
kontinuitas.
Sebuah
kritik sosial merupakan umpan balik pembangunan masyarakat berbangsa dan
bernegara yang sepatutnya kian beradab. Kekerasan bukan opsi, selain keberanian
yang keliru.
Sampai
kapan kebenaran harus disatukan? Apakah dua kutub yang sama bisa saling terpaut
satu sama lain? Mana yang Anda pilih, berjalan dalam keberadaban yang beragam
atau kebiadaban dalam persekutuan? (SIL, Kontributor)