Pages

Senin, 30 September 2013

Liputan Khusus Rakerma Fikom


Peserta Rakerma periode 2013/2014
Fikom Untar menggelar Rapat Kerja Mahasiswa (Rakerma) sebagai tindak lanjut pelantikan pengurus anggota organisasi kemahasiswaan. Rakerma yang diadakan selama tiga hari ini bertujuan untuk menentukan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) serta Program Kerja (Proker) organisasi kemahasiswaan. Rakerma yang mengangkat tema “Asas Demokrasi Perwakilan ini mengambil tempat di Kampus 4 Universitas TarumanagaraLippo KarawaciTangerang.
Sesi pembukaan Rakerma berjalan lancar meskipun terjadi pengunduran selama 20 menit. Silviana Dharma, Ketua DPM Fikom Untar mengatakan bahwa keterlambatan yang terjadi berada di luar dugaan panitia Rakerma.
Tidak adanya skema mengenai Garis Besar Haluan Organisasi (GBHO) kemahasiswaan Fikom pada AD/ART sempat membuat beberapa peserta sidang sulit untuk memastikan alur komando serta melakukan pengoordinasian. “Ada kesalahan teknis dari kami, yakni tidak tercetaknya GBHO yang sebenarnya sudah dipersiapkan matang-matang” tutur April selaku ketua pelaksana.
Rakerma yang berakhir pada hari Minggu (22/9) ini berjalan sesuai jadwal. Peserta sidang sangat mendukung, anggota baru kepengurusan tidak kalah berdebat dengan baik serta tetap mempertahankan argumen, is the best semuanya” tambah April. (tik)

Selasa, 24 September 2013

Kunjungan Liputan6.com

Foto Bersama
Selasa (24/09/13), ada yang berbeda di kantor redaksi  Liputan6.com. Beberapa mahasiswa Fikom Untar terlihat berada di kantor yang berlokasi di SCTV Tower lantai 14 ini. Ya! Kali ini Fikom Untar diwakili oleh 5 mahasiswa/i melakukan kunjungan ke redaksi liputan6.com. Dalam kunjungan kali ini, mahasiswa Fikom Untar disambut oleh Gawang Iwan Triono selaku Vice Editor in Chief. Gawang bercerita banyak seputar Liputan6.com, mulai dari visi misi, sejarah, hingga alur proses kerja redaksi.

“Liputan6.com awalnya hanya sebagai penampung video liputan 6 di televisi. Tetapi, hingga tahun lalu (2012),  Liputan6.com telah berkembang menjadi media online yang berdiri sendiri.” ungkap Gawang.


Gawang menambahkan pada bulan Januari  nanti, Liputan6.com akan melakukan perubahan total. Sayang, Gawang enggan memberikan detil perubahan yang akan dilakukan. “lihat saja bukan Januari nanti” ujarnya. Kunjungan ini ditutup dengan foto bersama. “Jangan takut untuk terus berkarya” pesan Gawang.  

Rabu, 18 September 2013

Baru! Touring Session di DPM Internal Training

Berbeda dari Training tahun-tahun sebelumnya, DPM Training Internal Fikom Untar 2013 menyisipkan touring session dalam rangkaian kegiatannya. Touring session adalah kunjungan langsung tempat-tempat alur administrasi dan birokrasi sehingga para peserta memahami dan tidak asing lagi ketika harus masuk kedalamnya untuk menjalankan tugas sebagai anggota DPM.

DPM Training Internal Fikom Untar kali ini mengambil tema “Self Development: Solidaritas, Tanggung Jawab dan Kepemimpinan” yang bertempat di Gedung Utama Kampus 1 Universitas Tarumanagara dan berlangsung mulai dari tanggal 10 s.d.11 September 2013.

Sebelum Touring Session dimulai peserta diberi pembekalan keterampilan manajemen administrasi mahasiswa oleh Kasubag Admawa, Eddy Dadang. Eddy menjelaskan tentang sistematika dalam penulisan proposal dan LPJ serta alur administrasi birokrasi yang akan dilalui.

Silviana Dharma selaku Ketua DPM Fikom Untar periode 2012/2013 menyampaikan harapannya dari acara ini adalah pemahaman para peserta mengenai tugas dan tanggung jawab yang akan diemban kedepannya.

“Setelah acara ini semoga para peserta memahami tugas dan tanggung jawab masing-masing, sehingga kami bisa menunaikannya sebagai satu tim, satu keluarga” lugasnya.(rez)

Sabtu, 14 September 2013

Diwarnai insiden, Hunting I-Focus Berjalan Lancar

Peserta hunting I-Focus (14/9)













Kegiatan hunting kecil perdana yang diadakan oleh I-Focus pada Sabtu (14/9) diwarnai sejumlah insiden. Hunting yang mengambil tempat di Sunda Kelapa ini dihadiri lebih dari 20 peserta yang terbagi atas 2 kelompok. Kelompok pertama berjumlah 17 peserta berangkat menuju lokasi hunting dari Kampus 1 Universitas Tarumanagara sedangkan kelompok kedua telah menunggu di lokasi hunting. Sayangnya, waktu keberangkatan yang dijadwalkan pukul 15.00 mengalami pengunduran hingga pukul 15.40 akibat beberapa peserta yang datang terlambat.

Perjalanan menuju lokasi hunting kembali terhambat akibat kemacetan yang terjadi mulai dari lokasi pemberangkatan. Selain itu, salah satu mobil peserta ditilang oleh Potlantas ketika rombongan melalui Jalan Latumenten, Grogol. Pihak berwajib mempermasalahkan pelat nomor yang dimiliki oleh salah satu peserta. Tidak sampai disitu, ketua I-Focus juga datang terlambat dikarenakan adanya urusan mendesak sehingga baru bisa hadir di lokasi hunting pukul 16.37. "Saya mohon maaf karena ada keperluan mendesak sehingga tidak tepat waktu dan tidak akan terulang lagi"ujar Steven.

Meskipun dilanda berbagai insiden,  acara hunting berjalan cukup lancar. Para peserta antusias memotret aktivitas yang terjadi di lokasi. Hunting ditutup pukul 18.31.(tnr)

Kamis, 12 September 2013

Penyederhanaan Bahasa

sumber: keepcalm-o-matic.co.uk
Seminggu ini topik vickynisasi menjadi pembicaraan hangat. Bukan hanya di media sosial tetapi merambah hingga media arus utama. Topik ini bermula dari wawancara yang dilakukan media massa kepada kekasih Zaskia Gotik yaitu Vicky Prasetyo yang diduga terlibat kasus penipuan. Tetapi bukan kasus penipuan yang membuat wawancara ini menjadi bahan pembicaraan melainkan gaya berbahasa Vicky yang menggunakan istilah-istilah yang sulit dipahami. Misalnya “konspirasi kemakmuran” atau “labil ekonomi”.

Sebenarnya penggunaan bahasa yang “gado-gado” seperti yang dilakukan Vicky sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari kita. Penggunaan Bahasa Indonesia yang kacau dengan bahasa asing seolah-olah menciptakan kesan profesional atau terpelajar bagi para pendengarnya. Padahal sesungguhnya dalam ilmu komunikasi, suatu komunikasi dikatakan efektif apabila sang penerima pesan memiliki pemahaman yang sama dengan sang pemberi pesan. Tidaklah tepat jika dikatakan seseorang adalah ahli berkomunikasi jika kata-kata yang digunakan menggunakan istilah ini-itu apalagi bercampur dengan istilah bahasa asing. Tetapi, bagaimana seseorang bisa menyederhanakan kalimat sulit agar bisa dimengerti bahkan oleh anak-anak sekalipun, itulah inti dari ilmu komunikasi.

Ilmu komunikasi menuntut seorang komunikator (pengirim pesan) mampu “membungkus” pesan secara baik sehingga dapat dipahami oleh pendengar atau pembaca. Pemahaman penerima pesan inilah yang ingin dicapai pertama kali seorang komunikator. Pemahaman menjadi langkah awal bagi pengiklan mempengaruhi orang untuk membeli produk klien mereka. Pemahaman ini adalah tujuan sebuah berita dibaca atau ditonton. Pemahaman inilah yang berusaha dicapai oleh praktisi PR dalam membangun citra perusahaannya. Bukan dengan istilah rumit, tetapi penyederhanaan.

Menurut Psikolog Klinis dari Universitas Sanata Dharma, Heri Widodo, M.Psi, seperti dilansir oleh liputan6.com, orang seperti Vicky dapat dikatakan memiliki kepribadian manipulatif. Lanjutnya, terdapat dua jenis orang dengan kepribadian manipulatif yaitu orang yang rendah diri dan orang yang cerdas. Hemat saya, cara berbicara Vicky yang menggunakan istilah-istilah rumit merupakan suatu isyarat komunikasi tersendiri terlepas dari apa yang dikatakan. Penggunaan istilah untuk meningkatkan harkat justru merupakan isyarat adanya rasa rendah diri. Rasa rendah diri atau minder yang membuatnya justru ingin tampil dan muncul di publik sebagai orang yang terpelajar. Singkatnya, istilah yang digunakan merupakan penyederhanaan dari rasa rendah diri yang dimilikinya.(wil)

Senin, 09 September 2013

Diksar BEM 2013


Diksar BEM FIKom UNTAR

Sabtu (7/9) BEM Fikom Untar kembali menyelenggarakan Pendidikan Dasar atau yang biasa disebut Diksar. Diksar ini diadakan di ruang 1206 gedung utama kampus 1 Universitas Tarumanagara. Diksar yang dilaksanakan kali ini bertujuan untuk melatih kemampuan pengorganisiran serta penyusunan proposal para peserta. Diskar ini dihadiri oleh 20-an peserta yang merupakan anggota BEM sendiri.
Diksar ini diawali dengan sedikit permainan oleh ketua BEM untuk mencairkan suasana Diksar antara peserta dengan senior. Sesi selanjutnya dihadirkan seorang senior yang berpengalaman dalam bidang organisasi yaitu Jessica Bernadetta. Dalam kesempatan ini, Jessica menjelaskan tentang kestrukturan organisasi serta tugas-tugas para koordinator dalam organisasi. Selain itu, Jessica juga bercerita tentang pengalamannya selama berorganisasi.
Sesi selanjutnya diisi oleh Mareta Magdalena yang mempresentasikan tentang cara membuat proposal yang baik dan benar. Berbagai jenis proposal juga diperkenalkan dalam sesi ini mulai dari proposal acara sampai proposal sponsorship. Turut hadir Elwi Gito yang berbagi pengalaman serta tata cara mengikuti Rapat Kerja Mahasiswa (Rakerma). Mantan Ketua BEM periode 2012/2013 ini menjelaskan banyak hal penting yang perlu diketahui para peserta dalam mengikuti Rakerma nantinya. Elwi berharap diksar ini akan berguna bagi para peserta.(tas)

Sabtu, 07 September 2013

Tujuh September

Tujuh September, Nir.
Dan darahmu jadi darahku.
Dan nafasmu jadi nafasku.
Dan matimu jadi hidupku.

Ini tujuh September keberapa sejak kau dipaksa bungkam ?
Tapi kami tidak tinggal diam, Nir, tidak pernah.
Mereka salah.
Kami berteriak.
Siang.
Malam.
Amarah berang dan tangis kelam.

Hingga akhirnya, dalam sedih marah malam, kami beranikan untuk bertanya,
“apakah untuk sebuah senyum sejati, harus ada airmata yang cukup perih, untuk membuat senyum itu berarti, Han? Tuhan?”

Teruntuk Munir, sebuah senyum sejati bagi kemanusiaan.
(matimu tak membuat mereka menang, namun kalah sebagai manusa, dan jadi binatang)


(Jesse Adam Halim)

Jumat, 06 September 2013

Arthur: “Let us publish for you”

“Yang membedakan seorang wartawan senior dengan pemula adalah pengambilan angle (red: sudut pandang).” Ujar Imam, Head of Content di Oomph Media dalam Pendidikan Dasar (Diksar) yang diselenggarakan oleh Oomph bekerjasama dengan Oranye, Pers Mahasiswa Fikom Untar. Imam melanjutkan bahwa untuk meningkatkan kemampuan menentukan angle adalah dengan banyak membaca sehingga kemampuan jurnalis semakin terasah. Acara ini diadakan pada hari Jumat (6/9) di Ruang 1206B Gedung Utama Kampus I Untar dan dihadiri oleh sekitar 30 mahasiswa yang sebagian besar merupakan anggota Oranye.
Sebelumnya, Stanley selaku Director di Oomph menjelaskan prinsip dari Oomph sendiri adalah citizen journalism. Oomph sebagai media yang menyampaikan tetapi masyarakat yang memberikan konten. Oomph sendiri merupakan aplikasi android berbasis media yang dapat diunduh di google play.

Turut hadir CEO dari Oomph yaitu Arthur. Arthur yang berkewarganegaraan Singapura ini menuturkan bahwa dia melihat begitu banyak orang yang memiliki potensi citizen journalism di Indonesia. Sayangnya, tidak ada yang menjembatani potensi tersebut. Dia yang telah tinggal di Indonesia selama 16 tahun itu menuturkan bahwa Oomph hadir untuk menjembatani gap tLet us publish for you.” Ujarnya. Acara yang diadakan selama 2 jam ini ditutup dengan foto bersama anggota Oranye dengan Oomph. (wil)
ersebut. “

Kamis, 05 September 2013

“4O Years of Silence: An Indonesian Tragedy”

Hari ini, Kamis (5/9/2013) Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) bekerjasama dengan Komnas HAM menyelenggarakan pemutaran film dokumenter yang berjudul “40 Years of Silence”. Bertempat di Kantor Komnas HAM, film yang merupakan karya seorang antropolog, Robert Lemelson ini menceritakan kesaksian empat korban pelanggaran HAM tahun 1965/1966 dari Jawa Tengah dan Bali yang telah memecah kebungkaman panjang mereka.
Setelah 15 tahun reformasi, belum ada satu pun kasus tahun 1965 yang telah diselesaikan secara tuntas sesuai standar kemanusiaan dan HAM sebagaimana dituntut oleh konstitusi Indonesia. Salah satu korban bernama Sumini menuturkan bagaimana mereka sangat menderita dengan beban yang harus dibawa seumur hidupnya karena sering di cap sebagai seorang komunis. Komnas HAM dan KKPK mengajak individu, lembaga dan aktivis lainnya mendukung perjuangan dan penegakan HAM.

Robert Lemelson sendiri mengungkapkan pemerintah seharusnya juga ikut berperan dan secara adil menuntaskan kebenaran. Lanjutnya, Komnas HAM  harus tetap menyelidiki berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada tahun 1965 yang memakan korban sekurang-kurangnya 500 jiwa. Selain itu, masih terjadi stigmatisasi pada seseorang atau sekelompok orang karena afiliasi, kepentingan politik, atau pengaruh kelompok yang berbau SARA hingga saat ini. (bim)

Antagonisme Profesionalitas Jurnalis

Sumber : www.femina.co.id
Dalam teorinya, jurnalistik selalu mengajarkan bahwa wartawan wajib mewartakan kebenaran bagi masyarakat. Sungguh hal yang mulia untuk direalisasikan. Pewarta kebenaran yang terdengar bak injili. Diajarkan juga bahwa wartawan harus mengolah beritanya secara objektif. Bagaimanakah kebenaran objektif yang hakiki itu? Dan apakah dengan demikian wartawan dapat didalihkan sebagai pihak yang selalu benar?

Sehingga dengan demikian tidak bisa dan tiada boleh mereka dicela. Wartawan sudah bekerja sebaik-baiknya, menelaah berita berdasarkan fakta di lapangan, mengutip sesuai narasumber. Namun sekali lagi, apakah wartawan dapat dikatakan pihak yang selalu benar?

Hemat saya, tiada lah kebenaran yang hakiki itu. Relatif, kalau kata Albert Einstein. Hanya Tuhan yang Mahabenar ujar para teolog. Sesuatu yang sulit diukur, walau bukan mustahil diperhitungkan.

Saya percaya bahwa rekan jurnalis terlepas dari segala kepentingan dan tuntutan, pada dasarnya mengumbar berita guna menjadi informasi yang berguna bagi khalayaknya. Namun perlu kita ingat, jurnalis juga manusia. Ia tak luput dari kesalahan. Jurnalis berfungsi sebagai watchdog pemerintahan, penyambung lidah antara pemangku dan penduduk. Selaku pilar demokrasi keempat, atas nama demokrasi, kedaulatan tertinggi di tangan rakyat. Berarti, pers yang notabenenya demokratis, bertanggungjawab kepada rakyat.

Hak Jawab
Rakyat memiliki hak jawab, jurnalis wajib menghormati off the record. Khalayak pembaca, pemirsa, baik yang berpendidikan maupun kurang bahkan tidak terpelajar berhak memperbaiki kekeliruan yang dilakukan para jurnalis. Benar, pasti profesionalitas jurnalis lebih mengerti pengolahan berita : teknik mewawancara, memilah narasumber, mengutip ungkapan, kode etik, cover both or multi side, sampai kepada penyeleksian kata-kata menjadi rangkaian kalimat untuk disajikan ke hadapan khalayak. Namun bukan berarti pengetahuan dan kecakapan profesional ini boleh mengabaikan hak kaum awam dan atau non-profesional dalam menggunakan hak jawabnya. Tetap, khalayak berhak memperoleh kebenaran yang akurat, dan pihak pewarta berkewajiban menyajikan fakta yang layak untuk itu.

Ejaan yang disempurnakan, perluasan dan penyempitan akan suatu istilah tentu lebih dipahami para jurnalis yang berkubang dalam dunia tulis-menulis ini. Penyajian berita yang faktual seturut perkembangan jaman menjadi kebanggaan mereka. Namun bagaimana bisa diksi mereka begitu ketinggalan jaman?

Ospek (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus), misalnya dikenal oleh angkatan tua sebagai masa orientasi mahasiswa/i baru yang lekat dengan kekerasan-senioritas. Di mana penyajian kebenaran yang dibangga-banggakan wartawan ketika kegiatan Ospek ini telah ditinggalkan dan yang ada hanya PMB (Penerimaan Mahasiswa Baru). PMB yang dijalani dengan menyenangkan dan keakraban senior dan junior. Bukankan diksi begitu dijunjung tinggi dalam dunia jurnalistik? Di manakah diksi yang menerapkan asas praduga tak bersalah itu? Bagaimana bisa hanya karena sebuah diksi yang keliru merusakkan susu sebelanga? Tercoreng nama satu institusi perguruan tinggi yang nyatanya karena oknum bukan karena Ospek. Kepada siapa loyalitas jurnalis sepatutnya ditujukan, kepada khalayak ataukah budaya populer?

Move On dari Kekerasan
Pers memiliki sejarah panjang nan penting kedudukannya dalam proses kenegaraan di Indonesia. Jatuh bangun sejak era kolonial, Orde Lama (Orla), Orde Baru (Orba) hingga era reformasi dan kini demokrasi. Masih, HAM dan keadilan bagi pers terabaikan. Kasus-kasus kekerasan terhadap pers serupa kasus pembunuhan Jurnalis Harian Bernas Fuad Mohammad Syafruddin, Jurnalis Harian Sinar Pagi Naimullah, Jurnalis Asia Press Agus Mulyawan, Jurnalis RCTI Ersa Siregar yang hingga kini tidak kunjung tuntas, nampaknya belum membuat negeri ini jera mengubur kebenaran, menggerakan sejarah peradaban bangsa menuju madani. Belum move on, istilahnya.

Sering kali, menjadi sebuah tantangan besar bagi wartawan di pelbagai kalangan di mana pun mereka berada untuk menyiarkan fakta konflik. Tidak jarang, nyawalah taruhannya. Persinggungan akan pemberitaan antara jurnalis dan khalayak tidak hanya terjadi dalam dunia profesional. Akhir-akhir ini, pers pra-profesional, yakni pers mahasiswa (persma) acapkali mengalami tekanan yang serupa.

Jumat, 23 Agustus lalu contohnya terjadi pemukulan terhadap anggota persma Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Didaktika oleh 5 oknum mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK) UNJ. Pemicunya ialah ketidaksenangan mereka terkait pemberitaan kasus perkelahian antara mahasiswa baru FIK dan mahasiswa Fakultas Ekonomi (FE) yang dimuat Didaktika dalam buletin Warta MPA 2013 Edisi IV artikel MPA, Riwayatmu Kini yang ditulis oleh reporter Didaktika Chairul Anwar.

Hemat saya, sah-sah saja melancarkan kritik sosial kepada media yang bersangkutan. Asal, mengikuti aturan yang berlaku. Dalam dunia jurnalistik, dikenal kaidah-kaidah untuk menyampaikan kritik dan saran pembaca kepada redaksi media yang bersangkutan, yakni melalui surat pembaca yang merupakan kolom hak jawab pembaca atas kekeliruan pemberitaan yang diterbitkan media tersebut.

Ini negara hukum, Bung. Apa bedanya hakim-hakim (yang notabenenya) profesional di sana dengan oknum garis keras tersebut di atas jika sama-sama main hakim sendiri?

Seperti yang tertera dalam UU Pers No.40 tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), pers wajib menghormati dan memberikan akses yang proporsional bagi masyarakat menyampaikan tanggapan dan sanggahan akan suatu karya jurnalistik yang melanggar KEJ, terutama kekeliruan dan ketidakakuratan fakta yang merugikan nama baik kepada pers melalui suatu hak yang disebut hak jawab.
 
Naah, di poin keduanya juga dijelaskan, “hak jawab berasaskan keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas dan profesionalitas.” Jadi, selaku khalayak beradab yang melek hukum, yang pastinya juga tidak mau disalahi media, seyogianya move on dari jalan keras yang, sudahlah, tahu sendiri, tiada guna dilakukan terhadap nyamuk pers. Jasmerah, belajarlah dari sejarah.

Kesimpulan
Berbesar hati untuk sebuah kekeliruan merupakan hal yang wajib dijunjung. Terkadang, dibutuhkan kegagalan-kegagalan untuk mengajarkan kita konsistensi dan kontinuitas.

Sebuah kritik sosial merupakan umpan balik pembangunan masyarakat berbangsa dan bernegara yang sepatutnya kian beradab. Kekerasan bukan opsi, selain keberanian yang keliru.

Sampai kapan kebenaran harus disatukan? Apakah dua kutub yang sama bisa saling terpaut satu sama lain? Mana yang Anda pilih, berjalan dalam keberadaban yang beragam atau kebiadaban dalam persekutuan? (SIL, Kontributor)