Pages

Jumat, 29 November 2013

AIDS, Menakutkan?

sumber: indyapost.com
Apa yang Anda pikirkan saat mendengar kata HIV/AIDS? Mungkin Anda takut tertular HIV/AIDS atau mungkin Anda tidak peduli karena Anda merasa bebas dari penyakit ini. Tapi stigma yang menyebar di masyarakat terlanjur jelek. Banyak penderita HIV/AIDS yang dijauhi padahal mereka tidaklah berbahaya. Jadi, bagaimana penyakit yang sangat ditakuti ini menular?

“Penyakit AIDS dapat menular melalui suntikan yang digunakan secara bergantian, seks bebas, dan melalui donor atau transfusi darah,” ungkap Susanti, mahasiswi kedokteran Universitas Tarumanagara (Jumat, 29/11/2013)

AIDS sendiri merupakan penyakit yang belum ditemukan penyembuhannya. Perkembangan penyakit ini memang mengkhawatirkan. Pada 2013, kasus positif HIV/AIDS di Jakarta meningkat hingga mencapai 24.807 kasus positif HIV dan 6.973 penderita AIDS padahal pada tahun 2012 baru terdapat 20.000 kasus.  
“Dapat kita ketahui (AIDS menyerang) melalui imun si penderita yang menurun. Sehingga ia lebih mudah terserang penyakit seperti TBC, pilek dan sebagainya,” lanjut Susanti.

Setelah si penderita AIDS tahu bahwa ia terjangkit penyakit AIDS, mereka cenderung akan lebih tertutup. Bahkan diantara mereka merasa kalau mereka telah dikucilkan dari masyarakat. Belum lagi mereka harus menghadapi stigma buruk masyarakat terhadap penderita AIDS. Padahal, mereka juga tidak pernah menginginkan penyakit ini.


Setelah mengetahui bagaimana penyakit HIV/AIDS menular, sudah seharusnya masyarakat lebih terbuka. Stigma bahwa penderita AIDS adalah pembawa penyakit harus dibuang jauh-jauh karena mereka tidak berbahaya. Selama kita menjaga bagaimana pergaulan, menjauhi seks bebas, dan narkoba niscaya kita  tidak akan tertular.(val)

Rabu, 27 November 2013

Mpok Ipong, Potret Kemiskinan di Tanah Banten

Euforia perekonomian Indonesia kian membahana. Pertumbuhan perekonomian Indonesia bahkan menempati urutan kedua terbaik di antara negara-negara G-20. Tapi bukan berarti kemiskinan sudah lenyap dari bumi ibu pertiwi. Lihat saja Mpok Ipong, seorang janda beranak dua yang tinggal di Kecamatan Sepatan, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Mpok Ipong tinggal di rumah beralaskan tanah berlumut dan beratapkan genting yang tak mampu lagi menadah air hujan. Dengan kondisi seperti itu, Mpok Ipong seringkali harus tidur bersama tetesan air hujan yang membasahi rumahnya.


Sejak suaminya meninggal, kehidupan Mpok Ipong berubah total. Dia harus merelakan rumah dan tanahnya untuk biaya pemakaman sang suami. Belum lagi kondisi kejiwaan Azis, anak sulung Mpok Ipong yang menurun akibat kehilangan sosok ayahnya. Jika Azis sedang  kumat dia bisa menghilang dari rumah hingga berhari-hari.

Sekarang, Mpok Ipong hanya mengandalkan kerja serabutan untuk membiayai urusan perut. Salah satunya adalah menanam padi di lahan milik orang lain. Untuk pekerjaannya ini, Mpok Ipong diupah Rp 15.000,- sehari. Terkadang Mpok Ipong mendapat bantuan beras dari tetangga sekitar. Tetapi jika sedang tidak ada, Mpok Ipong harus pasrah dengan keadaannya.


Mpok Ipong hanya satu dari 28 juta orang (data BPS Maret 2013) yang masih menyandang gelar miskin. Ironisnya, pemerintah seolah tutup mata dengan kondisi rakyatnya. Pemerintah seolah terlena dengan status negara dengan perekonomian terbaik dan melupakan janji menyediakan pekerjaan yang layak bagi warga negaranya. Ketimpangan semakin nyata terlihat ketika sang gubernur memuaskan hobi shopping-nya hingga milyaran. Nominal yang bahkan tak pernah terlintas dalam benak Mpok Ipong.(wil)

Masyarakat Urban, Masyarakat Pemantau Pemilu

Pemilu (Pemilihan Umum) 2014 merupakan pesta demokrasi akbar yang menentukan pemimpin Indonesia untuk lima tahun ke depan.  Mengantisipasi kecurangan-kecurangan yang mungkin terjadi, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan ICT Laboratory for Social Changes (iLab) dan didukung oleh South East Asia Tecnology and Transparency Initiative (SEATTI) meluncurkan  aplikasi pemantauan pemilu yakni Mata Massa pada Minggu lalu (24/11) di Perpustakaan Salihara Jakarta.

Aplikasi Mata Massa merupakan sarana untuk melaporkan pelanggaran yang terjadi terkait pemilu mendatang. Baik dalam hal iklan kampanye, alat peraga kampanye serta skandal kampanye yang terselubung. Aplikasi dengan pendekatan smartphone ini digunakan oleh masyarakat dan kaum muda atau pemilih pemula agar terlibat aktif dalam pemantauan.

“Membuat aplikasi dan program untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, masyarakat perlu diajak selain partisipasi pada hari
-H” ungkap Umar Idris selaku Ketua AJI.

Negara yang 
terlebih dahulu menerapkan aplikasi serupa yakni Kenya, Thailand dan Malaysia.  Dengan aplikasi tersebut setiap warga dapat terlibat langsung agar pemilu berjalan jujur, adil dan bebas dari kecurangan.

Laporan dari warga yang sudah benar baik format maupun kontennya 
akan diverifikasi oleh tim verifikator dan akan dipublikasikan ke situs MataMassa.org. Selanjutnya laporan tersebut akan ditindaklanjuti oleh pihak berwenang dalam pemilu yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)


Pemantau pemilu yang terdaftar akan menjadi keyperson dan akan rutin mengabarkan mengenai pelanggaran yang terjadi menjelang  pemilu. Oranye yang merupakan lembaga pers mahasiswa
 Fikom Untar tergabung dalam tergabung dalam jaringan keyperson bersama dengan mahasiswa dari berbagai universitas lain, antara lain Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah (UIN), Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Universitas Nasional (Unas) serta universitas lainnya di Jakarta.(tik)

Jumat, 22 November 2013

Semangat Berwirausaha dari Kalangan Marginal

Epul bersama sepatu-sepatunya
Langit Senin sore itu didominasi warna kelabu. Sesekali kilat membelah langit. Angin juga berhembus lebih kencang daripada biasanya. Bulan ini adalah bulan kesepuluh dari dua belas bulan yang ada. Bulan Oktober identik dengan peristiwa alam yang bernama hujan, tetapi belakangan ini teriknya matahari masih membakar kulit. Jarang, cuaca sore di Jakarta ini bisa mendung seperti ini.
Walaupun begitu, gerobak bertuliskan “SOL SEPATU” berwarna merah milik Epul ini masih menunggu dilirik pelanggan. Sepatu-sepatu yang dipamerkan di gerobak mungil itu rata-rata adalah sepatu pantofel khusus laki-laki. Tak cukup dengan gerobak itu, Epul menaruh beberapa koleksi sepatunya di sebuah tempat yang terbuat dari kayu yang dijejerkan dengan rapi di samping kanan gerobaknya, hanya saja tempat itu lebih pendek dari gerobaknya—mirip dengklek. Walaupun sepatu-sepatu telah ditata dengan cukup rapi, namun orang-orang yang melalui jalan besar Perumahan Kalideres Permai tak begitu tertarik dengan pameran sepatu itu.

Pemuda berumur 21 tahun tersebut telah mengabdikan diri di bidang ini sejak tiga tahun yang lalu. Dulunya, ia mangkal di Cengkareng. Namun, jasa sol dan jual beli sepatu  itu tak berumur lebih dari setahun. Sebab, mendapat teguran dari Satpol PP, maka ia memutuskan untuk menjajakan jasanya di kompleks perumahan Kalideres yang tak jauh dari tempat tinggalnya yang berada di Gang Waru, perumahan Bulak Teko.

Pemuda berkulit sawo matang yang berasal dari Bandung ini mengaku tidak percaya diri  untuk bekerja di tempat kelahirannya itu, maka ia memilih untuk mencari nafkah di Jakarta. Dari niat itulah akhirnya ia bekerja sebagai buruh di sebuah parbrik sepatu di kawasan Kosambi, Jakarta Barat. Namun, rupanya ia pun kurang puas dengan pekerjaan itu sehingga memutuskan untuk keluar.
“Pengen mandiri aja,” jawabnya dengan senyum kecil ketika ditanya mengapa dirinya memilih untuk bekerja di bidang ini.

Anak keempat dari lima bersaudara itu pernah menjajakan jasa dan sepatunya dengan berkeliling di sekitar perumahan Daan Mogot, perumahan Citra 1 dan 2. Namun, ia ingin mencari perubahan. Ia lalu membuat gebrakan baru dalam hidupnya, menjual jasa menggunakan gerobak putihnya itu.

Masalah laba, ia merasa tak jauh beda dengan usaha keliling yang pernah ia jalani selama setahun itu. "Kira-kira sama aja sih,” jawabnya sambil menunduk ke tanah. “Sehari bisa lima puluh ribu rupiah, tapi kadang juga nggak ada,”
Maka tak heran, ia menghentikan jasa kelilingnya, kemudian memulai untuk membawa gerobak kecil yang memakan sewa lima puluh ribu rupiah per bulan. “Uangnya diserahkan ke keamanan sini.”

Gerobak sepatu itu biasanya menampilkan diri pada pukul 08.00 WIB hingga 18.00 WIB. Kebanyakan pelanggannya berasal dari perumahan Daan Mogot.
“Ada sih (dari Bulak Teko), tapi jarang. Soalnya ada saingannya.” katanya seraya memilin-milin barang di sekitar, menutupi rasa gugupnya.

Pemuda lulusan SMP ini mengatakan, dirinya tidak puas dengan keadaannya sekarang, tetapi hanya ini keahliannya sehingga mau tak mau ia pun menjalaninya. Mimpinya, ia ingin memiliki kios kecil yang bisa memperkerjakan orang-orang. Sederhana. Namun, semangat itu tergambar dari wajahnya yang berbinar-binar.

Pernahkah pemerintah benar-benar serius memperbaiki masalah pendidikan? Buktinya, Epul tak bisa melanjutkan pendidikan ke bangku SMA lantaran kekurangan biaya. Ini adalah gambaran kecil dari masyarakat marginal. Kecil. Namun, semangatnya tinggi. Pernahkah Anda membayangkan seorang seperti Epul akan mempunyai kios yang cabangnya berada di kota-kota besar di Indonesia? Ataukah hanya mimpi di siang bolong saja? Mungkin.(oliv)

Bicara Benar, Buku Oei Tjoe Tat

Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KPKK) mengadakan bedah buku Oei Tjoe Tat, tokoh pendiri Universitas Tarumangara sekaligus saksi atas pembantaian yang terjadi pada tahun 1965. Bedah buku ini dihadiri oleh pengarang buku, Stanley Yoseph Adi Prasetyo. Acara ini diselenggarakan di Gedung Utama  Kampus I Universitas Tarumanagara mulai pada hari kamis (21/11) dan dihadiri oleh lebih dari 50 mahasiswa Fikom Untar.

Elwi Gito, moderator (kiri) bersama Stanley , pengarang buku Oei Tjoe Tat(kanan)

Anggota KPKK memberikan ceramah

Selasa, 12 November 2013

ICCTF Awards 2013, Peran Media Massa dalam Perubahan Iklim

Waka Bappenas, Lukita
ICCTF (Indonesia Climate Change Trust Fund) bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menyelenggarakan penganugerahan ICCTF Media Award 2013 dengan tema “Pembangunan Rendah Karbon dan Ketahanan terhadap Perubahan Iklim”. Acara ini dihadiri oleh Dr. Ir. Lukita Dinarsyah Tuwo, MA., selaku Wakil Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Ir. Wahyuningsih Darajati, MSc., selaku Direktur Lingkungan Hidup Bappenas, serta para mahasiswa.

Penganugerahan diberikan untuk karya jurnalistik dibidang karya tulis, foto serta siaran televisi. Ketua AJI Jakarta, Umar Idris mengatakan terdapat 175 karya jurnalistik yang tediri dari 133 karya tulis, 27 karya foto, dan 16 karya televisi.  Lebih lanjut, Umar mengatakan ada 95% karya jurnalistik berasal dari media asal Jakarta,  sedangkan 5% berasal dari media daerah. Dalam kesempatan ini juga, Umar mengungkapkan harapannya agar para jurnalis dari daerah lebih banyak mengirim karya-karya  mereka.

Wakil Kepala Bappenas, Lukita mengatakan bahwa masyarakat Indonesia belum memahami betul tentang pemanasan global.

“Sehingga yang terjadi berdampak pada saudara-saudara kita yang jauh disana,” ungkapnya.

Tujuan dari acara ini adalah untuk mendorong minat media massa yang masih terbatas dalam perubahan iklim. ICCTF sendiri merupakan lembaga yang bekerja sama dengan pemerintah sebagai partner pembangunan terutama mengenai masalah perubahan iklim.

“Apa yang kita miliki sekarang itu bukan sekedar dari leluhur kita. Tetapi pinjaman untuk generasi mendatang,” tutup Lukita.(har)

Minggu, 10 November 2013

Ki Hajar Dewantara, Sosok Pejuang Pendidikan

Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau lebih dikenal dengan Ki Hajar Dewantara merupakan simbol perjuangan akan pendidikan bagi kaum pribumi pada masa penjajahan Belanda. Ki Hajar menentang diskriminasi untuk mendapatkan pendidikan yang pada masa itu hanya dinikmati oleh kalangan bangsawan dan orang-orang Belanda. Ki Hajar membangun Perguruan Taman Siswa Yogyakarta yang memberikan pendidikan bagi kaum pribumi. Atas jasanya, hari kelahiran Ki Hajar yaitu 2 Mei  diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.

Ki Hajar juga dikenal sebagai tokoh perjuangan kemerdekaan. Ki Hajar berasal dari keluarga Keraton Yogyakarta. Setelah menyelesaikan pendidikannya, Ki Hajar menjadi wartawan dan penulis di beberapa surat kabar. Semangat anti kolonialisme selalu tertuang dalam tulisannya yang tajam dan komunikatif.

Ki Hajar bergabung dengan organisasi Boedi Oetomo (BO) pada tahun 1908. Tujuannya adalah untuk mengembangkan wacana Indonesia dalam persatuan dan kesatuan. Selain BO, Ki Hajar juga dikenal sebagai tiga serangkai bersama E.F.E. Douwes Dekker dan Dr. Cipto Mangunkusumo yang membangun National Indische Partij. National Indische Partij merupakan partai politik pertama dalam masa Hindia Belanda dan bertujuan melawan diskriminasi yang terjadi pada masa itu.

Sewaktu pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari warga pribumi untuk perayaan kemerdekaan Belanda. Timbul reaksi kritis dari kalangan nasionalis, termasuk Ki Hajar. Ia kemudian menulis tulisan yang berjudul "Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga"Salah satu tulisan Ki Hajar yang paling dikenal adalah yang berjudul "Seandainya Aku Seorang Belanda" (judul asli: "Als ik een Nederlander was") yang dimuat dalam surat kabar de express. Isi artikel ini berisi kritikan pedas untuk kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan tersebut antara lain sebagai berikut:

"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya."

Akibat tulisan ini Ki Hajar ditangkap atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenbrug dan diasingkan ke Pulau Bangka (atas permintaan sendiri). Dekker dan Tjipto yang tidak terima atas tindakan pengasingan itu memprotes dan berujung pada pengasingan tiga serangkai ke Belanda.(tany)


Letjen S.Parman

Sebagian besar dari kita sering mendengar nama pahlawan revolusi yang satu ini. Bagaimana tidak? karena letak Kampus 1 Universitas Tarumanagara tempat kita bernanung berada di jalan dengan nama pahlawan ini. Ya, siapa lagi kalau bukan Letjen.S Parman?

Ibarat pepatah yang berbunyi: "tak kenal maka tak sayang" dan momentum Hari Pahlawan yang jatuh pada hari ini, maka ada baiknya kita mengenal lebih dekat salah satu pahlawan revolusi kita yang satu ini.

Letnan Jendral Siswondo Parman lahir di Wonosobo, Jawa Tengah pada tanggal 4 Agustus 1918. Ia merupakan pahlawan revolusi karena menjadi korban kekejaman PKI (Partai Komunis Indonesia), bersama enam perwira lainnya. Cerita singkatnya, Letjen S. Parman merupakan seorang perwira intelejen yang mengetahui banyak rahasia terutama seputar kegiatan PKI yang ingin membentuk angkatan kelima yang terdiri dari buruh dan tani yang dipersenjatai. Angkatan kelima dimaksudkan untuk disejajarkan dengan tentara Angkatan Laut, Udara, Darat dan Kepolisian RI. Letjen S. Parman serta enam pahlawan revolusi lainnya menolak usul tersebut karena takut bila angkatan kelima akan mengambil alih pemerintahan, hal ini membuat mereka tidak disukai oleh pihak PKI.

Puncaknya terjadi pada 30 September atau yang lebih dikenal dengan Gerakan 30 September (G-30S) PKI. G-30S PKI adalah peristiwa penculikan dan pembunuhan Letjen S. Parman beserta keenam perwira tinggi TNI lainnya yaitu Jend. Achmad Yani, Letjen. Suprapto, Letjen. M.T. Haryono, Mayjen.D.I. Panjaitan, Mayjen. Sutoyo S, dan Kapten Pierre Tendean. Jasad mereka kemudian dibuang kedalam sumur tua di daerah Lubang Buaya.

Maka untuk mengenang dan menghormati jasa ketujuh pahlawan revolusi tersebut, di daerah Lubang Buaya dibangunlah sebuah tugu yang bernama Tugu Kesaktian Pancasila.(mar)


Para Pahlawan Didalam Uang Kertas

Hari ini 10 November, Indonesia memperingati Hari Pahlawan. Dari era Pattimura sampai Mohammad Hatta, sudah sepatutnya kita berterima kasih atas jasa-jasa para pahlawan nasional dalam membela negara hingga akhirnya merdeka. Walaupun di zaman sekarang ini arti kemerdekaan itu sendiri masih sulit untuk dirasakan.

Sebagai bentuk terima kasih kita terhadap para pahlawan, berikut kisah singkat tentang para pahlawan nasional yang terdapat didalam mata uang yang kita gunakan sehari-hari :

Uang kertas Rp. 1000,-
Kapitan Pattimura atau Thomas Matulessy, lahir di Maluku. Terkenal akan perannya dalam Perang Pattimura karena berhasil menaklukan belanda di daerah Ambon. Saking kocar-kacir belanda dibuatnya, akhirnya Pattimura berhasil dikalahkan dengan taktik adu domba. Hasilnya, Pattimura mati digantung di tanah kelahirannya pada usia 34 tahun (1817).

Uang kertas Rp. 2000,-
Pangeran Antasari (1809-1862), ia adalah sultan dari Banjar yang sekarang ini merupakan provinsi Kalimantan Selatan. Tidak heran, Kalimantan Selatan saat ini mendapat julukan "Bumi Antasari". Selain Pangeran Antasari, di balik uang kertas terdapat gambar tarian khas Suku Dayak.

Uang kertas Rp 5000,-
Ada yang masih ingat Perang Padri? Perang Padri (1803-1838) berlangsung di Sumatra Barat dan disebut Perang Padri karena terdiri dari sekelompok ulama atau kaum padri yang melawan kaum adat. Kemudian kaum adat meminta bantuan kepada pihak belanda yang justru memperkeruh situasi. Tuanku Imam Bonjol merupakan pemimpin kaum Padri. Pada akhirnya Tuanku Imam Bonjol dijebak oleh Belanda saat akan melakukan perundingan dan berujung pada pengasingan sampai akhir hayatnya.

Uang kertas Rp 10.000,-
Pahlawan nasional yang terdapat dalam uang sepuluh ribu adalah Sultan Mahmud Baddarudin II yang lahir di Palembang. Selain menjadi figur dalam pecahan sepuluh ribu, namanya juga digunakan sebagai nama bandara internasional di Palembang.

Uang kertas Rp 20.000,-
Terdapat gambar Oto Iskandar Dinata, ia lahir di Bandung dan merupakan Menteri Negara pada kabinet pertama Republik Indonesia. Sebagai menteri negara ia ditugaskan untuk membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) dari laskar-laskar rakyat di seluruh Indonesia. Saat melaksanakan tugas tersebut, diperkirakan ada laskar yang tidak puas dengan keputusannya sehingga mereka menculik dan membunuh Oto Iskandar Dinata.

Uang kertas Rp 50.000,-
Pahlawan yang satu ini lahir di Bali dengan nama I Gusti Ngurah Rai. Dia adalah seorang Kolonel TKR yang memiliki pasukan bernama “Ciung Wenara” yang berjumlah 96 orang. I Gusti Ngurah Rai dikenal karena perannya dalam Perang Puputan yang berarti perang habis-habisan. Perang ini terjadi pada 20 november 1946 untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Seluruh pasukan termasuk Ngurah Rai akhirnya tewas dimedan perang setelah dibombardir dengan pesawat pengebom Belanda. Nama  I Gusti Ngurah Rai kini juga diabadikan sebagai nama bandara di Bali yaitu Bandara Ngurah Rai.

Uang kertas Rp 100.000,-
Sosok pahlawan pada mata uang dengan nominal tertinggi di Indonesia ini sudah tidak asing bagi masyarakat, mereka adalah presiden dan wakil presiden pertama RI yaitu Soekarno dan Moh. Hatta. Mereka berdua memiliki andil penting dalam memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.(mar)

Rabu, 06 November 2013

Creadzy di Pulau Tidung

Peserta Acara Studi Wisata Creadzy
Pada 2 dan 3 November 2013 Creadzy mengadakan video training ke Pulau Tidung yang berada di Kepulauan Seribu.  Acara ini diikuti oleh 22 peserta dan bertujuan untuk melatih para peserta mengenai teknik rekaman video. Creadzy menghadirkan mentor yang juga merupakan alumni Fikom Untar yaitu Bentar dan Friska Rensia.

Acara ini diikuti oleh para peserta dengan antusias karena selain dapat menambah keterampilan mereka dalam merekam, acara ini juga menjadi pelepas penat setelah beberapa pekan sebelumnya menjalani Ujian Tengah Semester (UTS).

Salah satu acara yang paling menarik adalah snorkling. Lokasi terbaik untuk snorkling dipilih oleh pemandu yang merupakan masyarakat Pulau Tidung. Melalui acara ini para peserta disuguhkan pemandangan bawah laut Pulau Tidung yang tersohor akan keindahannya.

“Ini pertama kalinya gue naik sepeda dan snorkling, seru banget,” tutur Andi Purwan

Pada keesokan harinya, peserta sekali lagi merekam beberapa scene untuk videonya. Acara ini ditutup dengan foto bersama dan pulang kembali ke Grogol.(fic)

Senin, 04 November 2013

Balada Sang Perias Kota

Keringat bercucuran di wajah keriputnya, terik matahari tak menghalangi semangat untuk melaksanakan tugasnya. Semua itu tak digubrisnya, Tangannya masih dengan kuat menggenggam senjata andalan.

Sreekk..sreekk..sreekk… suara terdengar diantara suara-suara kendaraan yang berlalu lalang pada Sabtu siang 28 September 2013. Tampak dua wanita tua di bilangan jalan Proklamasi, Kota Tangerang tengah sibuk dengan ‘senjatanya’, sapu lidi dan pengki. Minah (58 tahun) dan Sumi (54 tahun) merupakan salah satu dari petugas pembersih dan penyapu jalan yang ditugaskan oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Tangerang. Dengan topi mandor bangunan, mereka berdua bertugas untuk menyapu jalanan.

Jam sudah menunjukkan pukul 12.00, dengan seragam kebesaran mereka yang berwarna oranye,  mereka beristirahat sejenak dengan duduk di trotoar sembari minum air di tengah panasnya cuaca pada hari itu.
Air mineral dalam botol besar pun sudah cukup untuk menghilangkan dahaga mereka. Minah membuka bungkusan pada kantong kresek hitam, sedangkan Sumi masih asyik mengelap keringatnya. Dikeluarkannya dua nasi bungkus yang menjadi jatah mereka untuk makan siang.

Sebungkus nasi yang berisi lauk tahu tempe dengan sayur toge pun dilahap mereka dengan segera. Tanpa menghiraukan debu yang berterbangan serta asap kendaaraan yang lewat, mereka begitu asyik menyantap nasi bungkus.
Makan siang pun selesai, mereka saling bercengkrama. Membicarakan keluh kesah mereka setelah bekerja dari pukul 7.30 pagi. “Kadang iri liat orang laen udah tua tapi mereka idup nya seneng, gak kaya kita masih kerja di jalanan gini”, keluh Ibu Minah. Sumi menyambung, “ Ya namanya juga kita orang susah, kalo gak gini kita mau makan apa”.

Minah yang merupakan ibu dari dua orang anak itu terpaksa bekerja sebagai penyapu jalan raya. Karena suaminya sudah lumpuh dan tidak bisa bekerja untuk mencari nafkah. Anak-anak Minah sudah berkeluarga, tapi nasib mereka pun sama hanya bekerja sebagai buruh pabrik. Penghasilan mereka hanya cukup untuk member makan keluarganya masing-masing. Lalu bagaimana Minah bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari dan obat untuk suaminya jika ia tidak bekerja?

Tak jauh berbeda dengan Minah, Sumi yang sama-sama tinggal di kawasan belakang Rumah Sakit Sitanala pun menjadi tulang punggung keluarga. Demi memenuhi kebutuhannya sendiri dan tiga orang anaknya yang masih bersekolah,,ia harus bekerja menjadi penyapu jalan raya. Setelah ditinggal suami yang meninggal dua tahun lalu, Sumi bingung bagaimana dia membayar uang kontrakan dan biaya sekolah anak-anaknya.

Ketika disinggung masalah gaji atau upah yang didapat, mereka hanya tersenyum tanpa arti. “Ya asal cukup buat makan sama sekolah anak-anak aja”, celetuk Sumi. Minah menambahkan “Tapi emang enak sih kadang kita dijemput sama mobil bak DKP, nanti pulang juga kita dianter sampe rumah”.
Dengan mata yang sayu menandakan kelelahan, mereka sudah mulai bersiap-siap melanjutkan tugasnya. Karena masih sekitar 100 meter lagi jalanan yang belum disapu. Jam kerja mereka yang begitu lama sekitar 9 jam per hari kadang membuat mereka merasa begitu kelelahan, tapi apa mau dikata itu sudah menjadi pekerjaan mereka untuk merias kota dengan  membuatnya terlihat rapi  dan bersih.

Tak hanya mengeluh lelah, Sumi dan Minah pun kadang kesal melihat ulah pengandara maupun para pejalan kaki yang membuang sampah sembarang. Perasaan tak dihargaipun muncul dengan semakin banyaknya para pembuang sampah sembarangan. “Kalo sampah-sampah daun kering sih itu wajar yah karena mungkin kena angin, tapi kalo botol, plastik-plastik itu kan bikin jalanan kotor dan gak bagus buat dilihat” curhat Minah.  
Dengan melihat banyaknya sampah botol dan plastik yang berserakan, mereka berinisiatif untuk mengumpulkan dan menjual sampah tersebut kepada pengepul plastik “Lumayan lah kan buat tambahan”, kata Minah sambil tersenyum. Makanya sekarang apabila mereka dinas sebagai perias kota, maka akan ada satu teman yang menemani, yaitu karung kesayangan. Karung tersebut dipakai sebagai wadah sampah botol dan plastik.

Sisi lain jalan Proklamasi merupakan pusat pendidikan Kota Tangerang, maka tidak heran bila terdapat banyak sekolah baik tingkat SMP maupun SMA. Hal inilah yang menjadi pekerjaan berat bagi Minah dan Sumi karena anak-anak sekolah yang berpendidikan lebih tinggi daripada mereka justru suka seenaknya membuang sampah dan tidak memelihara lingkungan. Sumi berujar, “Kadang malah ada yang saya tegor anak-anak kalo buang sampah di jalanan”.

Mereka berani menegur orang yang buang sampah sembarangan, karena sebenarnya keindahan dan kebersihan kota merupakan tanggung jawab semua orang.

Meskipun terkadang hati kesal, dan lelah terasa oleh mereka berdua tetapi dengan tulus Minah dan Sumi melaksanakan tugasnya sebagai perias kota.

Mari kita hias, rias, dan rawat lingkungan kota tercinta! Bukan hanya “si seragam Oranye” yang bisa jadi perias kota, tapi kita semua juga bisa. Karena merias kota dimulai dari merias diri sendiri dengan sikap dan perilaku yang baik. Terima kasih Perias Kotaku, si seragam oranye.
(Apr.)