Pages

Selasa, 25 Maret 2014

Menularkan Virus Cinta Bahasa Indonesia

Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
 Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
 
Sumpah Pemuda



B
angsa Indonesia boleh berbangga karena disatukan oleh bahasa. Bahasa apapun itu, dapat membantu kita untuk menyampaikan suatu isi pesan dalam proses komunikasi.
Namun, pada kenyataannya eksistensi penggunaan bahasa Indonesia ini semakin bergeser dengan munculnya bahasa gaul. Ya, anggapan bahwa bahasa Indonesia yang baik dan benar hanyalah milik mereka yang hidup di zaman dahulu. Bahasa Indonesia adalah bahasa formal yang biasa digunakan oleh bapak-bapak, dalam acara yang formal juga. Bahasa Indonesia sekiranya juga merupakan alat yang digunakan dalam surat-surat resmi yang tertulis.
YA KELEEUUSSS! Uppss…
Tahukah kalian, Muhammad Yamin bersama pemuda lainnya udah berjuang untuk menjunjung tinggi bahasa persatuan, yakni bahasa Indonesia. Dulu, dalam Sumpah Pemuda pada kalimat ketiga tertulis begini, “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Melayu.
M. Tabrani mempertanyakan, “Apabila tanah dan bangsa kita sudah Indonesia, mengapa bahasa kita adalah bahasa Melayu?” Sejak saat itu, Sumpah Pemuda pun lahir dari Kongres Pemuda kedua pada 27-28 Oktober 1928. Lengkaplah sudah formula negeri ini: tanah Indonesia, bangsa Indonesia, juga bahasa Indonesia.
Bila para pemuda yang memperjuangkan sumpah itu masih hidup hingga kini, tak ayal mereka akan bersedih. Masyarakatnya kini malah tak bisa mempertahankan sesuatu yang telah diperjuangkan dulu. Padahal, menggunakan bahasa Indonesia merupakan salah satu cara untuk mencintai negeri kita ini. Bahasa adalah alat pemersatu, dari sanalah muncullah semangat nasionalisme.
Bayangkan saja, bahkan semangat ini bisa dikobarkan hanya lewat lidah dan pita suara!
Hmm… tak heran bukan apabila Presiden Republik Indonesia yang pertama, yakni Soekarno, mampu menyulut semangat para pemuda-pemudi Indonesia lewat pidato yang mengagumkan. Ketegasan di setiap katanya mampu membuka mata dan pikiran. Lihat, apa yang sudah dilakukan bahasa Indonesia untuk kita?
Sewaktu masih duduk di bangku kuliah Semester 1, saya masih mendapat mata kuliah Bahasa Indonesia. Bagi saya, materi ini susah-susah gampang karena saya baru sadar, ada banyak hal di tentang bahasa ini yang tidak saya ketahui sebelumnya. Namun, saya bersyukur karena saya menjadi tahu karena saya ketidaktahuan tersebut.
Niknik M. Kuntarto, dosen Bahasa Indonesia Universitas Multimedia Nusantara seolah menjadi virus baik bagi para mahasiswanya. Dia adalah dosen saya. Dengan gaya ajar yang menyenangkan lewat Kuis Bintang-bintang, mahasiswa jadi lebih mudah memahami penggunahan bahasa yang baik dan benar.
Setiap selesai menyampaikan materi, Bu Niknik akan memberikan kuis terkait materi yang baru saja diberikan. Bila berhasil menjawab, kami akan diberi satu bintang. Nah, semua bintang ini harus dikumpulkan. Minimal ada 20. Dengan 20 bintang, kami tidak perlu mengerjakan Ujian Akhir Semester Bahasa Indonesia dan langsung mendapat nilai A!
Sejenak saya berpikir, ini adalah tawaran yang menarik!
Seiring kami berproses di dalam kelas, nyatanya Bu Niknik sukses menyebarkan virus cinta bahasa Indonesia! Kuis ini akan selalu membuat kami berlomba-lomba dan berpikir dengan cepat mengenai jawaban terbaik.
Dia akan melarang kami untuk menggunakan kata “terus” yang kerapkali kami artikan sebagai kata “kemudian, lalu, atau selanjutnya.” Terus, nyatanya saya juga mendapat banyak pelajaran. Nah, itu salah. Seharusnya, selanjutnya saya juga mendapat banyak pelajaran. Kira-kira seperti itu.
Dosen saya ini juga selalu melatih daya kekritisan kami begitu saja. Dia pernah berkata, “Kalau ada sesuatu yang salah dari bahasa Indonesia, coba benarkan. Kalau kita membiarkannya, maka hal yang salah akan tetap salah… dan selamanya kita juga akan salah.” Ya, kurang lebih seperti itulah perkataannya.
Butuh sekian menit untuk mencerna perkataannya. Ada benarnya juga.
Itulah yang menjadi prinsip saya dalam menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar hingga kini. Bahkan, ketika saya melihat-lihat banyak tulisan di jalan, di buku, di kardus makanan, di pintu toilet, di jembatan, di spanduk, di manapun itu, saya selalu mencoba kritis.
“Tulisannya salah tuh. Seharusnya, dibuang di tempat sampah, bukan di buang ditempat sampah.”
Gumaman-gumaman kecil itu tak pernah membuat otak saya berpikir. Itu malah membuat saya ketagihan untuk terus mencintai bahasa Indonesia hingga kapanpun.
Tak dimungkiri, kehadiran bahasa gaul dalam pergaulan sosial tampaknya semakin berekpansi. Bukan hanya masyarakat perkotaan saja yang kian akrab, melainkan juga dengan masyarakat di desa. Kehadiran bahasa gaul ini semakin merambah akibat sulit dikendalikannya mobilitas urbanisasi. Ditambah lagi, adanya anggapan bahwa mengadu nasib di kota-kota besar akan meningkatkan finansial.
Memang, bahasa gaul seperti bisa dipandang sebagai suatu kreativitas. Sayangnya, kekreativitasan ini malah menyudutkan bahasa nasional kita, bahasa Indonesia. Ketika seseorang berinteraksi dengan kelompok yang sudah “keracunan” bahasa gaul, lantas seseorang itu juga akan ikut terjerumus ke dalamnya.
Faktor lain yang menyebabkan semakin meluasnya penggunaan bahasa gaul adalah canggihnya teknologi masa kini. Sarana untuk bertukar informasi dengan yang lainnya semakin mempermudah mereka untuk menggunakan bahasa gaul.
Bahasa gaul itu sebenarnya tidak dilarang, asalkan tahu tempat dan waktu penggunaannya. Bahasa gaul itu diperbolehkan, asalkan tahu benar apa fungsi dan tujuannya.
Untuk mencegah penggempuran bahasa gaul atas bahasa nasional kita, ada beberapa upaya yang bisa dilakukan guna menekan arus.
Pertama, sebagai generasi penerus bangsa, biasakanlah untuk menggunakan bahasa Indonesia yang sesuai dengan kaidah. Hindari penggunaan bahasa gaul yang akan mendistraksi pemilihan kata kita sehingga kita bisa terbiasa menggunakan bahasa yang baik dan benar. Tingkatkan kesadaran untuk melestarikan bahasa karena bahasa merupakan budaya yang diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang kita.
Hal itu jugalah yang saya lakukan di media kampus tempat saya bernaung. Saya selalu berusaha memerhatikan setiap penggunaan kata supaya pengaplikasiannya tepat. Mata pembaca yang menikmati tulisan di majalah kampus saya pun tidak harus terdistraksi dengan penggunaan bahasa yang tidak semestinya.
Kemudian, pendidikan dan pengajaran Bahasa Indonesia di sekolah dan perguruan tinggi harus lebih ditingkatkan. Tanamkan rasa cinta dan tanggung jawab akan penggunaan bahasa Indonesia sejak dini agar penerapannya bisa maksimal. Hal ini bisa dilakukan dengan berdiskusi, berdialog, menulis cerpen, bermain drama, dan sebagainya.
Pemerintah juga bisa mengampanyekan masyarakat yang cinta bahasa. Mudahkan masyarakat untuk mencintai dengan memproduksi film-film dengan bahasa Indonesia, atau lewat lirik-lirik musik yang menggunakan bahasa nasional. Bisa juga lewat buku-buku yang ditulis sesuai Ejaan yang Disempurnakan (EYD).
Bahkan, saya pun pernah berbagi ilmu dengan editor novel saya tentang penggunaan bahasa. Penggunaan bahasa yang sesuai dengan EYD menjadi salah satu faktor novel saya bisa diterbitkan. Dari hal sekecil ini saja sudah bisa memberi keuntungan yang menurut saya luar biasa. Tak diragukan lagi, bahasa membantu saya untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik.
Ya, perlu ditekankan kembali bahwa bahasa adalah identitas budaya, identitas nasional. Penggunaan bahasa gaul secara tak sadar akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan bahasa nasional kita. Apa perlu bahasa Indonesia diklaim negeri lain baru kita mencintainya dengan utuh dan sepenuhnya? Lantas, masih berpikir untuk menggeser bahasa Indonesia dengan bahasa gaul?YA KELEEUUSSS! Uppss…

Penulis, Sintia Astarina adalah mahasiswi Universitas Multimedia Nusantara adalah pemenang juara kedua dalam Lomba Esai Oranye 2014 yang diumumkan dalam Fikom Expo 2014 "The Power of Journalism" pada 7 Maret 2014.
Daftar Pustaka
Saputra, Eko Rizal. 2012. Makalah Penggunaan Bahasa Gaul di Kalangan Remaja dalam http://ekorizalsaputra.wordpress.com/2012/11/24/makalah-penggunaan-bahasa-gaul-di-kalangan-remaja/
Zoom. 2013. Penggunaan Bahasa Gaul dalam Perkembangan Bahasa Indonesia dalam http://zoombosscoot.blogspot.com/2013/10/penggunaan-bahasa-gaul-dalam.html 

Sabtu, 22 Maret 2014

Mimbar Fikom Untar: "Merapi"

Mimbar DPM Fikom Untar
Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fikom Untar kembali mengadakan Mimbar Fikom Untar pada hari Rabu (19/3) mulai pukul 1 siang. Mimbar ini mengambil tema "Merapi" yang berarti Mendengarkan Aspirasi. Acara yang diadakan di ruang 1106 A-B ini turut dihadiri oleh Dr. Eko Harry Susanto, M.Si. selaku Dekan Fikom Untar dan Drs.Widyatmoko, M.M.selaku Pudek.

Dalam kesempatan ini dibacakan hasil angket yang telah disebar oleh DPM Fikom Untar sebelumnya. Angket ini berisi keluh kesah mahasiswa/i mengenai kinerja dan fasilitas di Fikom Untar. Selain itu, diumumkan juga hasil akhir dosen favorit di Fikom Untar yaitu:


1. Suzy Azeharie,







2. Gregorius Genep Sukendo, dan 

3. Yugih Setyanto.  









Alasannya, Mam Suz (sapaan akrab Suzy) memilih teknik pengajaran yang mudah dimengerti oleh mahasiswa/i Fikom Untar. “Inilah dinamika demokrasi yang bisa dirasakan di Fikom Untar, melalui acara seperti inilah kita bisa mendengar aspirasi mahasiswa mengenai Fikom yang objektif guna mengetahui apa yang harus diperbaiki untuk Fikom yang lebih baik,” ujar Widyatmoko. 

  

Selasa, 11 Maret 2014

Kata dalam Kita (Juara 1 Lomba Esai Oranye 2014)

Manakala malam gelap sempurna, saatku duduk manis di depan komputer jinjing demi seseorang yang kesepian setelah pulang dari laboratoriumnya. Namanya Kak Wibowo—kakak yang baru kutemukan setelah aku dewasa.

Benar saja. Komputer jinjingku berdengking. Ding!

Konflik Politik dan Sosial dalam Perbedaan Bahasa
"Halo! Saya baru sampai rumah. Sedang apa, Dik?"
"Lagi nonton Monster University"
"Kok saya nggak pernah lihat monster di kampus kita, ya …, padahal, kita satu almamater"
"Ah masa sih? Aku sering liat. Monster itu dulu sering datang ke rumahku tiap malam Minggu sambil membawa sekuncup bunga mawar"
"Oh, jadi saya semenakutkan monster … pantas saja kamu tak mau kuboyong kemari"
"Aku kan masih kuliah. Sabar … satu semester lagi, ya …. Walaupun dengan monster, siapa pula yang nggak mau tinggal di Korea. Hihihi"
"Tapi saya edisi terbatas. Saya monster ganteng"
"Ih Kak Bowo jayus banget, sih"
"'Jayus' itu apa, Dik?"

Hingga setengah menit kemudian aku tak berkutik. Iring-iringan tawa dari obrolan kami selalu tersandung di sana—di masalah bahasa.

Aku dan Kak Bowo sudah bertunangan. Meskipun perbedaan umur kami cukup jauh -yaitu sebelas tahun- hubungan kami tetap begitu hangat. Kami mampu saling memahami emosi pasangan. Dalam setiap percakapan, Kak Bowo yang kini tengah melanjutkan studi doktoralnya di Korea Selatan, selalu mengarahkanku pada hal-hal yang berbau keilmuan. Aku senang saja, karena aku pun senang belajar. Aku berada dalam wadahnya.

"Jayus artinya orang yang bergurau dan mengira gurauannya lucu, padahal, sebenarnya gurauannya itu tidak lucu menurut orang lain. Maaf, ya, itu bahasa prokem—logat populer"
"Tidak perlu minta maaf. Saya memaklumi, kok. Bahasa sifatnya manasuka. Bahasa adalah alat, bukan?" Kalimatnya mengisyaratkan seakan-akan kami hidup di dunia yang jauh berbeda. Aku sedikit tak terima kenyataan, tapi perbicangan ini tetap menyenangkan. Aku melanjutkan.

"Menurut teori fungsional, kita dapat memahami struktur tata bahasa sebagai hasil dari proses adaptif dimana tata bahasa telah 'disesuaikan' untuk melayani kebutuhan komunikatif penggunanya . Itulah yang selalu kutakutkan dalam hubungan kita. Kita datang dari masa yang berbeda. Merujuk kembali pada narasi alkitab dari Menara Babel bahwa keberagaman bahasa menyebabkan konflik politik "

"Oh, ya? Lalu menurutmu mengapa banyak episode-episode kekerasan utama dunia terjadi di situasi dengan keberagaman linguistik yang rendah seperti Yugoslavia dan Perang Sipil Amerika, atau genosida oleh Jerman Nazi dan Rwanda ? Atau Indonesia misalnya yang keadaan politiknya sangat demokratis dan cukup sehat ini. Tenang saja. Kita –baik 'kita' dalam konteks kamu-dan-saya atau dalam konteks kita sebagai bangsa Indonesia– baik-baik saja …"

Apakah Indikasi Kepunahan Bahasa Indonesia?
Sejurus, aku lebih serius.

"Menyoal 'jayus', memangnya, bahasa Indonesia sebegitucepatnya berubahkah, Kak? Maksudku, Kakak sebagai seseorang yang sudah melampaui masa Raja Ali Haji, JS Badudu, Gorys Keraff, Anton M. Meliono, NH Dhini, Harimurti Kridhalaksana, Ramlan dan beberapa tokoh bahasa dan sastra lainnya"

"Adik cerdas. Itulah letak kesalahannya. Kita kekurangan tokoh bahasa. Sepenerawanganku, belum ada yang bisa menggantikan mereka. Mereka menjadikan kesusastraan dalam bahasa seperti aliran darah dalam nadi. Tak ayal selain terus berkarya mengembangkan bahasa, mereka juga menciptakan karya-karya sastra monumental"

"He? 'Aliran darah dalam nadi'? Wkwkwkwk !!! LOL !!! ROFLMAO !!!"

"Nah, yang baru saja kamu tulis adalah contoh bagaimana bahasa Indonesia bisa mengalami mati suri" aku berdecak. Menelan ludahku sendiri. "Pertama, kita didominasi oleh bahasa asing. Kedua, penggunaan bahasa pesan dengan menggunakan alat komunikasi yang berbasis tehnologi semakin tidak terkontrol. Coba, cek semua sosial mediamu! Apakah ada status yang menggunakan bahasa Indonesia baku? Konsensusnya adalah antara 50 dan 90% bahasa yang digunakan sejak awal abad ke-21 kemungkinan akan punah pada tahun 2100 "

"Kalau begitu, kita buat punah saja sekalian ya, Oppa  … "
"Hus! Coba baca ini: 'minoritas linguis telah berargumen bahwa kehilangan bahasa adalah proses alami yang seharusnya tidak dinetralisir, dan dengan mendokumentasikan bahasa yang terancam punah demi keturunan sudah cukup' . Itu menurut Peter Ladefoged"
"Siapa dia, Kak?"
"Penulis. Aku hanya mengutip"
"Oh"
"Walau bahasa selalu menjadi punah selama sejarah manusia, sekarang mereka menghilang dengan laju semakin cepat dikarenakan proses-proses dari globalisasi dan neo-kolonialisme, di mana bahasa dengan kekuatan ekonomi mendominasi bahasa lainnya . Atau, contoh sederhananya adalah di rumah. Ibumu sudah tidak lagi menggunakan bahasa Indonesia yang baku, bukan? Saya masih beruntung, karena saya lahir dalam asuhan bahasa Indonesia yang (boleh dikatakan lebih) baku, karena dulu ibuku pun mengenal bahasa Indonesia sebagai bahasa keduanya yang harus diikuti ejaan dan tatanannya. Mengertos?"

Cara Kita Memelihara Bahasa Indonesia
"Sip! Raos! Jadi, tak apa kalau kusisipkan Bahasa Sunda di percakapan kita?"
"Bukan masalah besar. Keberagaman bahasa daerah justru harus senantiasa dipelihara untuk memperkaya bahasa Indonesia itu sendiri. Bahasa Indonesia dapat terus berkembang maju dengan diwarnai oleh kosa kata bahasa daerah, sehingga selain sebagai alat untuk melanggengkan bahasa daerah, ia dapat juga dijadikan sarana untuk menunjukkan kepada dunia bahwa bahasa Indonesia terus berkembang"

"KBBI akan semakin tebal, ya, Kak! Hahahaha. Kembali lagi, kalau bahasa daerah harus dilestarikan, maka bahasa prokem pun seharusnya mendapatkan tempat untuk berkembang, bukan? Karena bahasa adalah hasil dari proses budaya"
"Bahasa SMS sekalipun demikian, Dik. Memang menyoal bahasa 'baru' ini adalah pisau bermata dua: ia dapat memusnahkan bahasa, namun di sisi lain akan memperkaya bahasa Indonesia. Tergantung pribadi masing-masing"

"Tunggu, aku benci kalimat terakhirmu, Kak. Seakan-akan kalimat itu adalah penghapus dosa manusia. Kalau semuanya bergantung pada pribadi masing-masing, buat apa ada aturan hidup bersama? Justru inilah peran para ahli bahasa Indonesia untuk mengelola dan membuat korelasi antara bahasa dan perkembangan alat komunikasi. Bagian terpentingnya adalah usaha mereka mensosialisasikan 'hasil kerja' mereka kepada masyarakat sebagai upaya untuk terus mengembangkan bahasa Indonesia"

"Setuju, Dik!"
"Mubazir kalau bahasa Indonesia punah. Penuturnya kan sangat banyak. Nomor 10 di dunia !"
"Katanya , bahasa Indonesia juga diajarkan di 45 negara!"
"Aigo  … saya juga mengajar bahasa Indonesia di sini, Dik!"
"Oh iya, ya! Untuk orang Korea yang akan bekerja di Indonesia, bukan?"
"Iya"
"Pantas saja, mengobrol denganmu begitu melelahkan, Kak—guru bahasa Indonesia, gitu … "
"Hahahaha. Ini latihan, kalau-kalau di Indonesia nanti menjadi dosen pembimbing skripsi. Boleh jadi membimbingmu menyelesaikan skripsi"
"Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui!"
"Benar. Eh, apakah kamu masih suka menulis esai dan cerpen?"
"Aku sibuk dengan bisnisku. Bahkan semua pelangganku menggunakan bahasa niaga: Bro, Sis, Kak, CoD, deal, dan lain-lain"
"Bah, apa pula itu, Dik?"
"Hahahaha"

"Kalau sempat, menulislah satu dua paragraf. Kita bisa turut merawat keberadaan bahasa dan secara tidak langsung akan mendokumentasikan karya-karya dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Lumayan, supaya kualitas dan kuantitas bahasa Indonesia tetap terjaga. Dirimu masih cinta bahasa Indonesia, kan, Dik?"

"Iya, Kak. Nanti aku sempatkan. Nanti aku akan mengganti namaku sekalian menjadi Raja Ratna Ali Haji, Ratna Badudu, atau Ratna Keraff"
"Hahahaha"

Konklusi 
Pekatnya malam bersambut semilir angin. Jam berdentang 9 kali. Tak terasa sudah banyak pikir dan cerita yang berpilin, menjadi data binari, berputar menuju satelit kemudian terekstraksi dalam hati dan kepala Kak Bowo.

"Kita sebagai penutur bahasa, tokoh nasional, tokoh bahasa, tokoh sastra, guru dan pendidik adalah pengembang bahasa. Bahasa adalah produk yang unik, karena bahasa dibentuk oleh penggunanya sendiri. Alih-alih menuduh teknologi sebagai penghambat, kita dapat melihat keberadaannya sebagai pintu terbuka yang menyilakan kita memperkenalkan bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional. Seyogyanya, kita berbangga berbahasa Indonesia. Kita tidak melulu mengekor kepada bangsa asing, melainkan menjadi rujukan dalam berbagai bidang kehidupan terutama budaya dan peradaban"
Aku mengangguk. Mengirimkan tanda jempol pertanda suka.
"Cakep, ya, mengobrol denganku?"
Aku hanya terkekeh seraya berusaha memindai topik menarik lain di kepalaku.
"Typo! Capek, ya, maksudnya? Iya, capek, tapi aku senang sudah banyak belajar hari ini. Aku diberi es krim, ya, 'Pak Guru', kalau 'Pak Guru' sudah pulang ke tanah air" aku merajuk. Kemudian dikirimnya emoticon  kecup dengan titik dua (:) diikuti tanda bintang (*).
"Sudah pukul 11 malam di Gangneung. Kakak belum tidur?"
"Iya … sekarang saya sedang mimpi sambil mengetik"
"Hahaha … kali ini Kakak nggak jayus!"
"Yes!"
"Aku harus rapat daring dengan temen-temanku sekarang. Aku pamit. Selamat beristirahat!"
"Tunggu dulu! 'Daring' itu apa?"
"Itu bahasa Indonesia yang baku, loh, Kak. 'Daring' artinya dalam jaringan alias on-line"
"Oh, terima kasih. Kamu memperkaya khazanah kosakataku"
"Kembali kasih, Kak Mons! Hehe"
"Baiklah. Salam hangat untuk Dik Ratna dari monster ganteng di Gangneung!"

Catatan kaki:
[1] Esai bertemakan punahnya bahasa Indonesia yang dibungkus dengan gaya tulisan fiksi. Esai ini menggunakan tata tulis esai dengan gaya APA

[2] Mahasiswi Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia.
[3] Evans, Nicholas; Levinson, Stephen C. (2009). The myth of language universals: Language diversity and its importance for cognitive science 32 (5). Behavioral and Brain Sciences. hlm. 429–492.
[4] Haugen, Einar (1973). "The Curse of Babel". Daedalus 102 (3, Language as a Human Problem): 47–57
[5] Austin, Peter K; Sallabank, Julia (2011). "Introduction". In Austin, Peter K; Sallabank, Julia. Cambridge Handbook of Endangered Languages. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-88215-6. 
[6] Wkwkwkwk adalah prokem dalam Bahasa Indonesia yang merupakan ekspresi tertawa
[7] LOL adalah kata prokem dalam Bahasa Inggris yang merupkan akronim dari Laugh Out Loud; berarti tertawa kencang
[8] ROFLMAO adalah kata prokem dalam Bahasa Inggris yang merupkan akronim dari Rolling on Floor Laughing My Ass Off; berarti berguling-guling di lantai sambil menertawai bokongku
[9] Austin, Peter K; Sallabank, Julia (2011). "Introduction". In Austin, Peter K; Sallabank, Julia. Cambridge Handbook of Endangered Languages. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-88215-6.
[10] "Oppa" ditulis 오빠 dalam Bahasa Korea adalah kata sapaan untuk kakak laki-laki dari seorang adik perempuan
[11] Ladefoged, Peter (1992). "Another view of endangered languages". Language 68 (4): 809–811
[12] Austin, Peter K; Sallabank, Julia (2011). "Introduction". In Austin, Peter K; Sallabank, Julia. Cambridge Handbook of Endangered Languages. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-88215-6
[13] Berdasarkan data yang dilansir oleh www.krysstal.com### , bahasa Indonesia saat ini menduduki posisi ke-10 di antara 30 bahasa dunia yang paling banyak penuturnya. bahasa Indonesia di daftar itu bersinergi dengan bahasa Melayu yang digunakan oleh negara-negara seperti Indonesia, Malaysia dan Singapura dengan jumlah penutur 175 juta
[14] Menurut Andri Hadi , Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Departemen Luar Negeri ###
[15] Aigo! ditulis 아이고! dalam Bahasa Korea adalah kata seru yang berarti "alamak!"
[16] Emoticon adalah istilah teknologi dalam tradisi percakapan. Emoticon membuat beberapa gabungan simbol memiliki makna baru karena menyerupai gambar ekspresi. Misalnya titik dua (:) diikuti kurung tutup ()) yang berarti komunikator memberikan tanda senyum pada komunikan.
Referensi:
Austin, Peter K; Sallabank, Julia (2011). "Introduction". In Austin, Peter K; Sallabank, Julia. Cambridge Handbook of Endangered Languages. Cambridge University Press.
Evans, Nicholas; Levinson, Stephen C (2009). The myth of language universals: Language diversity and its importance for cognitive science.
Haugen, Einar (1973). "The Curse of Babel".
Ladefoged, Peter (1992). "Another view of endangered languages"

Samantha, Gloria (2011). " Apa Saja Faktor Punahnya Bahasa Etnis di Indonesia? " http://nationalgeographic.co.id/berita/2011/12/apa-saja-faktor-punahnya-bahasa-etnis-di-indonesia. Diunduh pada 1 Maret2014

Minggu, 09 Maret 2014

PR is YOU

Salah satu pembicara, Charles Honoris
Fikom Expo tahun 2014 berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini karena ada PRO, lembaga minat bakat Public Relations (PR) yang baru saja bergabung dalam keluarga besar Fikom Untar. Nah, dalam Fikom Expo kali ini, PRO bekerja sama dengan BEM Fikom Untar menghadirkan para pakar PR.

Tidak hanya satu praktisi yang dihadirkan, tapi tiga! Ada Charles Honoris yang merupakan CEO Modern Land, Burhan Abe selaku Founder Vox Populi dan Marlene Sutedja selaku Public Relations Executive Four Seasons Hotel.

Acara yang berlangsung di Gedung M lantai 8 Universitas Tarumanagara ini mengambil tema PR is YOU”. Hal ini dijelaskan yaitu karakter PR yang young, original, dan unique. Dalam kesempatan ini Burhan Abe mengatakan bahwa seorang PR itu harus mempunyai jaringan (networking), kreatif, dan harus mengenal social media yang ada.”

Tidak berbeda dengan Abe, Marlene Sutedja mengatakan bahwa PR harus mempunyai strategi yang baik dan harus bisa menjaga relasi dengan media, serta harus fleksibel dalam bahasa dan mempunyai kredibilitas.
Tidak ketinggalan, Charles Honoris mengatakan bahwa karakteristik memilih konsultan PR bisa dilihat dari tiga kriteria, yaitu background pendidikan, usia, dan pengalaman PR tersebut.


Acara ini merupakan rangakaian acara Fikom Expo yang merupakan acara tahunan oleh Fikom Untar. Acara ini kemudian ditutup dengan penyerahan plakat oleh panitia kepada pembicara.(jes)

Sabtu, 08 Maret 2014

2 Jam Bersama Joe Markus

Joe Markus (dua dari kanan) bersama ketua I-Focus (kanan)
dan ketua BEM Fikom Untar (kiri)
Hari pertama Fikom Expo dibuka oleh acara dari lembaga minat bakat fotografi di Fikom Untar, I-Focus. Acara ini diadakan di Gedung M lantai 8 Universitas Tarumanagara pada hari Rabu (5/3). Tak tanggung-tanggung, I-Focus bekerja sama dengan BEM Fikom Untar menghadirkan Joe Markus, praktisi fotografer yang telah menjajal asam garam dunia fotografi. Joe mengaku memang mencintai dunia fotografi sejak masa kuliah. 

“Ketika saya masih kuliah, saya sambil bekerja. Saya mencari corprate yang berhubungan dengan fotografi. Setelah kuliah, saya semakin berani lagi, saya bekerja di majalah, sampai ke foto-foto fashion. Jadi, kalau kalian melihat foto-foto pakaian di Sogo itu sebagian merupakan foto-foto saya, hingga membuat foto iklan apparel,” tutur Bang Joe, sapaan akrabnya.

Dalam kesempatan ini, Bang Joe yang juga bekerja di White Sands dan Oktagon ini memberikan wawasan ke peserta mengenai foto apparel. Joe juga memberi contoh fotonya untuk salah satu merek pakaian. Joe menegaskan bahwa foto apparel harus menjadi magnet. Sehingga, suatu baju dapat menjadi terlihat menarik. ”Itulah tugas para fotografer apparel,” pungkas Joe.

Bang Joe juga membagi pengalamannya seputar dunia fotografi. “Fotografi itu kalau buat saya sudah menjadi kehidupan. Bahkan, saya selau mengatakan Salam fotografi. Kalau, pejabatkan mengucapkannya Salam sejahtera. Saya dari pagi saja, sudah mengerjakan fotografi. Jangan sia-siakan waktu, selagi masih muda, matangkan passion anda!” pungkasnya.

Acara ini diramaikan dengan penampilan menarik yakni, Fashion Show oleh para model yang tak lain adalah mahasiswa Fikom Untar. Acara ini dilanjutkan dengan sesi kedua dan ditutup oleh penampilan dari Christine dan Dian.(hel)

Kreativitas dari Hati bersama Mice

sumber: www.micecartoon.com
“Semua orang dari kecil suka menggambar,” kata Muhammad Misrad atau biasa dikenal dengan Mice saat membuka acara Fikom Expo hari kedua pada hari Kamis (6/3) lalu. Acara yang bertemakan “The World of Creativity” ini berlangsung di Auditorium Gedung M lantai 8 Universitas Tarumanagara, Jakarta Barat.

Mice dalam kesempatan ini banyak bercerita mengenai dunia kartun. Pria kelahiran 23 Juli 1970 ini juga membagi pengalamannya bekerja sebagai seorang kartunis di salah satu media cetak nasional. Acara ini semakin “hidup” dengan permainan yang diadakan oleh panitia. Peserta secara sukarela maju ke panggung dan diminta menggambar wajah Mice. Penilaian langsung diberikan oleh Mice sendiri. Setelah permainan, Mice menunjukkan kebolehannya menggambar wajah Mice dengan waktu tidak lebih dari satu menit.

Gerda Emily, salah satu mahasiswi Fikom Untar ini mengaku sangat mengidolakan Mice. “Dia kartunis idola gue, orangnya humble (red: rendah hati), acaranya bagus dan memberikan banyak ilmu tentang kartun,” ungkap Gerda. Gerda merupakan salah satu peserta yang antusias terhadap acara ini.

Menurut Mice, kreatif itu bukan dari kepala melainkan dari hati. Alumnus Institut Kesenian Jakarta ini bercerita bagaimana awal ia terjun di dunia kartun adalah melalui menggambar. Diakhir acara ia berpesan bahwa ide kreatif bisa muncul darimana saja dan untuk menjadi kreatif adalah dengan tidak menjadi follower.(fic)

Minggu, 02 Maret 2014

Aksi Jalan Santai: Kami Mengawasi

Ada banyak cara menyadarkan masyarakat terhadap kecurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan pemilu 2014. Salah satunya yang dilakukan oleh Mata Massa pada hari Minggu (2/3). Aksi Jalan Santai Bersama ini dilakukan untuk mengajak masyarakat untuk turut serta mengawasi pemilu 2014.

Acara ini diikuti oleh 20 orang yang tergabung sebagai keyperson yang merupakan anggota utama Mata Massa mengawasi pemilu 2014. Aksi ini dilakukan dengan membawa spanduk dan membagikan stiker di sepanjang jalan carfree day. Beberapa anggota LPM oranye juga turut bergabung sebagai keyperson dalam Mata Massa.

Kegiatan ini merupakan pre- launching acara deklarasi “Kami Mengawasi”. Setelah acara Jalan Santai Bersama acara dilanjutkan dengan diskusi Inisiatif Pemantauan Masyarakat Pemilu 2014 dengan bertempat di Bakoel Koffiie Cikini.(tik)