Oleh: Dr. Eko Harry Susanto, M.Si. Dekan Fikom Untar
Politik dinasti menjadi gejala umum dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) di berbagai wilayah. Para kandidat pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah memiliki hubungan keluarga dan mereka pun bersaing untuk meraih dukungan masyarakat.
Memang, dalam aspek prosedural tidak ada yang salah. Namun, jika dicermati, ada persoalan serius menyangkut kegagalan kaderisasi partai politik, yang dipicu oleh keterlibatan incumbent dalam pilkada. Pasalnya, partai politik sebagai pemegang kendali utama dalam penetapan kepala daerah, ternyata tidak mampu menghasilkan regenerasi kepemimpinan secara profesional. Di sisi lain, dalam belenggu oligarki politik, kaderisasi alamiah di masyarakat, sebagaimana tampak pada calon independen, juga teramat jarang yang berhasil memenangi kompetisi politik lokal.Kekuatan IncumbentKetentuan dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menegaskan bahwa kepala daerah yang mencalonkan kembali harus mengambil cuti ketika melakukan kampanye. Sebagaimana diketahui, waktu kampanye pilkada adalah empat belas hari. Lazimnya, kepala daerah hanya mengambil cuti pada hari-hari tertentu saja untuk kegiatan kampanye. Dengan waktu cuti yang relatif pendek, maka dipastikan tidak memiliki implikasi berarti yang bisa merepresentasikan bahwa calon incumbent mempunyai kedudukan yang sama dengan kandidat lain pada umumnya.Karena incumbent masih memiliki pengaruh kuat dalam pemerintahan daerah, maka aparat pemerintah daerah pun memberikan dukungan secara terselubung. Dengan mengerahkan kekuatan untuk memengaruhi rakyat, melalui imbauan partisipasi maupun mobilisasi, bukan hal yang aneh jika di berbagai pilkada, incumbent mampu mempertahankan kekuasaannya.Biang KeladiJabatan sebagai kepala daerah dua kali berturut-turut inilah biang keladi dari politik dinasti. Sebab, dengan memegang kekuasaan selama sepuluh tahun, cukup bagi kepala daerah untuk membuat poros-poros politik strategis dalam melembagakan kekuatannya. Akibatnya, hampir tidak ada figur lain dari berbagai entitas politik yang mampu menyaingi tingkat popularitas kepala daerah.Dalam posisi "memegang kekuasaan" dan memiliki kekuatan memadai, tetapi tidak berhak lagi untuk mencalonkan diri yang ketiga kalinya, maka demi mempertahankan eksistensinya di lingkaran kekuasaan, para incumbent mencari "putra mahkota" di lingkaran dalam keluarga. Ini sejalan dengan perspektif politik praktis, jika seorang figur atau elite politik masih mempunyai kekuasaan dan kekuatan, tetapi tidak memiliki tujuan yang lebih tinggi, maka kecenderungannya adalah mempertahankan status quo.Menghadapi status quo yang sedemikian kuat, teramat sulit untuk menghasilkan regenerasi kepemimpinan secara profesional, mengingat semua akses terhalang oleh popularitas dan kekuatan sayap politik subordinat kepala daerah. Lebih celaka lagi, partai politik yang seharusnya mampu mengahasilkan kader terbaik untuk memimpin daerah, cenderung terbuai oleh politik lingkaran istana daerah, yang tidak jauh berbeda dengan masyarakat yang terbelenggu politik patronase yang sangat tunduk kepada penguasa.Dengan kata lain, partai politik, terlebih yang dikendalikan oleh kepala daerah, tentu berupaya melakukan rekrutmen politik dengan pola nepotisme, yang jauh dari karakteristik sebuah organisasi modern dan demokratis. Padahal, nepotisme menutup peluang para kader atau aktivis partai yang benar-benar berjuang, berkarier dari bawah, untuk tampil sebagai generasi penerus kepemimpinan daerah. Bahkan secara empiris, model nepotisme juga menjadi perangkap berkembang biaknya personalisasi kekuasaan dan kepemimpinan oligarkis partai-partai. Karena itu, bukan hal yang aneh jika struktur parpol diwarnai oleh kekuatan keluarga kepala daerah melalui cara instan.Di sisi lain, mengingat incumbent sedemikian kuatnya, partai politik di luar "lingkaran kekuasaan lokal" juga sulit untuk mencari figur yang mampu menyaingi kekuatan istana daerah. Ketika semua akses untuk bersaing dengan gerbong incumbent tertutup, maka dengan kalkulasi politik praktis dan berpijak pada model kepemimpinan biologis yang juga masih diagungkan oleh rakyat, parpol lebih suka mencari kandidat kepala daerah yang masih ada hubungan keluarga dengan ordinat kekuasaan kepala daerah.Alhasil, persaingan menuju kursi kepala daerah didominasi oleh figur-figur yang memiliki hubungan kekerabatan satu sama lain. Dalam kondisi semacam ini, tentu saja rakyat yang akan dirugikan. Sebab, implikasi makro yang terjadi yaitu sulit untuk menjalankan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.Karena itu, langkah konkret untuk memangkas kekuatan politik dinasti seharusnya dipertegas dalam ketentuan tentang kepala daerah ataupun wakil kepala daerah incumbent yang akan maju lagi dalam pilkada. Ketentuannya ialah incumbent yang akan maju lagi bukan hanya mengambil cuti pada saat pelaksanaan kampanye, melainkan paling tidak tiga bulan sebelum memutuskan untuk mendaftarkan diri dalam pilkada harus sudah mengambil cuti.Batasan waktu tiga bulan merujuk pada kelaziman organisasional untuk menilai produktivitas dan loyalitas seseorang. Jika kepala daerah cuti tiga bulan, kekuatan di birokrasi pun terpangkas, sehingga tidak bisa lagi memanfaatkan sumber daya pemerintah daerah untuk kepentingan politiknya.Dalam perspektif komunikasi politik, ketika masyarakat melupakan peran incumbent, maka pesan-pesan politik yang disebarkan kepada publik tidak lebih dari makna denotatif yang tersurat dalam kalimat, dan tidak memiliki makna konotatif yang bisa memaksa khalayak untuk memberikan dukungan. Kendati demikian, mengingat partai politik masih mengandalkan jaringan keluarga sebagai sumber kekuatan untuk memengaruhi massa, maka upaya untuk menghilangkan politik dinasti pun tampaknya akan sia-sia. ***
|
|
Posting Komentar