Oranye Fikom Untar Oranye Fikom Untar Author
Title: Freeport dan Mesuji : Sebuah Perjuangan Kemanusiaan
Author: Oranye Fikom Untar
Rating 5 of 5 Des:
Tahun 2011 kemarin juga tahun-tahun sebelumnya ditutup dengan sekumpulan duka mendalam bagi bumi Pertiwi: sekumpulan duka yang seharusnya t...

Tahun 2011 kemarin juga tahun-tahun sebelumnya ditutup dengan sekumpulan duka mendalam bagi bumi Pertiwi: sekumpulan duka yang seharusnya tidak terjadi, bahkan dalam pikiran sekalipun!! Sekumpulan duka yang murni sebagai bukti ketidakbecusan (atau ketidakmauan?) rezim penguasa dalam menjalankan fungsi sebagai pemimpin bangsa. Sekumpulan duka yang sama akhirnya menjadi suatu bentuk terhina dan terinjak-injaknya dasar negara ini : Pancasila. Bukan oleh Belanda, bukan oleh Jepang, bukan oleh siapa-siapa, tapi oleh mereka yang mengaku bertanah-air Indonesia.


Pancasila yang seharusnya kita junjung tinggi justru terhina dan terinjak-injak oleh mereka yang mengaku berbangsa Indonesia. Coba pikir, apakah Pancasila telah dijunjung tinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Dimana ‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’? Dimana ‘Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan’? Dimana ‘Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia’? Dimana itu semua? Apakah hanya ada dalam upacara-upacara belaka ?

Coba sejenak layangkan pandangan kita ke timur sana, ke tanah Papua yang begitu kaya emas, tembaga, serta uraniumnya. Namun serta merta Freeport datang dan mengeruk semuanya. Yang ditinggalkan hanyalah limbah, kerusakan kosmik, kerusakan tatanan sosial, sistem nilai, dsb. Sistem sosial masyarakat yang sangat komunal; hutan dan tanah dimiliki bersama, tiba-tiba dihancurkan dengan bermodalkan kertas kontrak pemerintah Orde Baru. Dan rakyat Papua? Mereka tetap tinggal dalam kemiskinan, listrik terbatas, dan lingkungan hancur. Mereka tinggal di bumi yang isinya dinikmati oleh  kapitalis asing dan oleh Pemerintah mereka sendiri, tanpa ada sedikitpun mereka dipikirkan. Belum lagi persoalan buruh-buruh lokal yang sedemikian rendah upahnya jika dibandingkan dengan kalangan ekspatriat. Betapa mereka mengangggap rendah kita. Padahal, mereka tinggal menumpang di tanah kita!! Ironisnya, pemerintah kini seolah-olah tidak mau membereskan segala ketidakadilan di  Papua sana. Itukah yang mereka katakan ‘Kemanusiaan yang adil dan beradab’? Dimana keadilan dan keberadaban ketika sekelompok manusia, demi perutnya sendiri, rela menginjak-injak manusia lain dan segenap hak-hak nya ?


Coba lihat juga ke Mesuji. Masyarakat petani di sana harus disiksa sedemikian rupa akibat mempertahankan hak-hak mereka. Mereka dibohongi, lahan tani mereka diambil demi keperluan investor asing dengan iming-iming pekerjaan yang mapan dan layak. Namun, akhirnya mereka malah dipekerjakan dengan upah yang minim dan tidak layak!! Apa yang pemerintah lakukan hingga kini? Tidak ada! Sekalipun ada, sangat lambat. Pelecehan terhadap kemanusiaan yang sedemikian besar ditanggapi  santai oleh pemerintah. Sementara di sisi lain, seorang bocah yang mencuri sandal seorang polisi seharga tiga puluh ribu saja, dihukum lima tahun!! Itukah ‘kemanusiaan yang adil dan beradab’ dan keadilan sosial ketika hukum digunakan untuk menindas yang lemah dan memperkuat yang berkuasa ?



Pancasila kita telah diinjak-injak, saudara-saudaraku!! Pancasila kita telah diinjak-injak oleh kerakusan para penguasa dahulu dan sekarang. Kemanusiaan itu telah diubah sebagai sebatas janji semata saat kampanye, dan nyatanya harus ada korban ketika kita menuntut ‘kemanusiaan’ itu. Pemerintah tak lebih dari sekedar rezim penghisap darah rakyat, dan aparat tak lebih dari abdi kepentingan penguasa. Kemanusiaan yang tidak adil dan tidak beradab, serta ketidakadilan sosial bagi seluruh rakyat merupakan bukti dari kerakyatan yang tidak dipimpin oleh hikmat, namun oleh kerakusan dan ketamakan penguasa. Inilah yang harus kita lawan. Cobalah setia pada kata hati, apakah ada kerelaan di hati, melihat saudara-saudara kita sedemikian terinjaknya, sama dengan Pancasila kita? Apakah para buruh dan para tani itu dengan palu dan aritnya harus memalu dan memotong kepala mereka yang duduk di rezim penuh kebohongan itu? Inilah perjuangan kelas, antara kaum buruh dan tani sebagai mereka yang tertindas dan kaum kapitalis sebagai mereka yang menindas. Kita, sebagai kaum terpelajar, harus adil. Mari kita suarakan keadilan walau hanya sedikit demi kesetiaan kita pada kata hati . Akhirnya, tulisan ini berakhir dengan sebuah kutipan dari seorang Pramoedya Ananta Toer: Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan!! (Jesse Adam)

About Author

Advertisement

Posting Komentar

  1. lima butir pancasila benar2 hrs dipertanyakan...miris skali melihat warga papua yg kini makin susah,ditambah lg dgn byknya konflik yg terjadi disana...sy blm bisa membayangkan,apakah anak-anak sekolah disana bisa belajar dgn tenang, sementara daerah mereka seperti kembali ke zaman penjajahan...

    BalasHapus
  2. susah sih kalo cuma ngeberantas akar rumputnya tanpa ngeberantas petinggi-petinggi yang korupnya juga. :/

    BalasHapus
  3. keep up the good article, baca juga artikel saya http://hauzansblog.blogspot.com/2011/12/pemerintah-jewish-mind-controlled.html

    BalasHapus

 
Top