Oranye Fikom Untar Oranye Fikom Untar Author
Title: Pers Orde Baru (1965-1998) dan Kemunafikan
Author: Oranye Fikom Untar
Rating 5 of 5 Des:
Media massa adalah hal yang sangat menentukan kehidupan manusia di berbagai aspek, termasuk dalam berbangsa dan bernegara. Pers sebagai sa...
Media massa adalah hal yang sangat menentukan kehidupan manusia di berbagai aspek, termasuk dalam berbangsa dan bernegara. Pers sebagai salah satu bagian dari media memiliki peranan penting dalam membangun opini masyarakat (opini publik). Antonio Gramsci, seorang Marxis dan pendiri Partai Komunis Italia, berkata-kata tentang hegemoni sebagai “perangkat lunak” yang dimiliki kelas penguasa untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Hegemoni, menurut Gramsci, adalah “kepemimpinan moral dan intelektual”. Melalui agama, pendidikan, surat kabar, dan sebagainya, para produsen ideologi kelas penguasa membentuk sentimen moral dan cara berpikir kelas yang dikuasai. Dengan demikian, kelas yang dikuasai (buruh dan rakyat pekerja) menerima begitu saja nilai-nilai moral, sistem pemaknaan, dan logika borjuis alias kelas penguasa. Dengan logika yang sama, tentu teori ini dapat digunakan untuk melawan kelas borjuis itu. Maka, negara-negara komunis yang mengedepankan kediktatoran proletariat, bahwa kesetaraan kelas merupakan tujuan akhir komunisme, berpendapat harus ada yang dominan; dalam hal ini Partai Komunis, dan adanya system otoritarian, dimana pers tidak dibiarkan berjalan tanpa adanya sensor dari penguasa (Partai Komunis), agar tujuan akhir tersebut dapat tercapai. 


Di Orde Baru, pemerintahan Soeharto, Kementerian Penerangan saat itu sangat mengekang kebebasan Pers yang sebetulnya sangat dijunjung tinggi oleh negara penyokong Soeharto yakni Amerika Serikat. Negara tersebut sangat menjamin demokrasi, bahkan sampai tertulis di Deklarasi Kemerdekaannya. Telah menjadi rahasia umum, hasil analisa beberapa orang, diantaranya Peter Dale Scott, Profesor Politik dari Universitas di Amerika Serikat menemukan bahwa jatuhnya Soekarno dan naiknya Soeharto yang mengambinghitamkan PKI pada waktu itu adalah hasil dari permainan beberapa pihak dibelakangnya, salah satunya CIA-nya Amerika. Indonesia, pada waktu itu telah menjadi semacam medan pertempuran dari Perang Dingin antara dua negara adidaya, Uni Soviet dengan Komunismenya dan Amerika Serikat dengan liberalisme (dan kapitalisme)nya.

Pada waktu itu memang Amerika Serikat sangat concern untuk meniadakan segala gerakan sayap kiri di dunia karena dinilai dapat mengganggu pergerakan ekonomi neolibnya, karena kekuatan tersebut semakin besar dan besar. PKI pada waktu itu adalah Partai Komunis yang terbesar ketiga di dunia, setelah Partai Komunis Uni Soviet dan Partai Komunis China. Dengan kondisi seperti itu, dan dengan kenyataan bahwa Soekarno telah sangat dekat dengan PKI, sudah jelas kepentingan Amerika Serikat untuk memenangkan Indonesia. Tan Malaka pernah mengatakan bahwa apabila AS mau menguasai dunia, terlebih dahulu harus menguasai Indonesia. Dan memang benar, bahwa Freeport yang masuk setelah naiknya Soeharto, salah satu penghasil tambang emas timah dan tembaga terbesar di dunia yang adalah milik AS.



Rupa-rupanya demokrasi yang diusung oleh Amerika Serikat ketika memasuki Indonesia adalah hanya tameng bagi pergerakan ekonomi kapitalismenya saja. Nyatanya, justru kehidupan pers kita dikekang sedemikian rupa oleh Soeharto lewat Kementerian penerangannya. Bahkan tidak hanya itu, buku-buku sejarah juga dimonopoli isinya sedemikian rupa untuk menghitamkan Komunisme dan PKI di Indonesia. Ya, Soeharto yang didukung Amerika Serikat dengan tameng demokrasi liberalismenya, malah justru menggunakan sistem otoritarian yang menjadi ciri khas komunisme. Sebuah kontradiksi yang akhirnya menunjukkan kemunafikan AS, bahwa ternyata mereka tidak perduli dengan segala tetek bengek demokrasi dan kebebasan itu, namun mereka hanya menamengi kepentingan ekonomi kapitalistik mereka dengan liberalisme, yang justru tidak kita rasakan ciri utamanya: kebebasan berpendapat. Banyak media yang dibredel satu persatu karena pemberitaannya yang tidak mendukung pembangunan. Namun pembredelan semakin menjadi-jadi sejak terjadinya peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) 1974 dimana setelahnya 12 media dibredel dengan dicabut SIT dan SIC nya oleh pemerintah.

Namun pada akhirnya, entah bagaimana, pada tahun 1990 Soeharto mencoba untuk memberi kebebasan bagi Pers untuk bergerak. Namun, tahun 1994, secara tiba-tiba 3 media dibredel oleh Harmoko, yakni Tempo, Detik, dan Editor. Kebebasan itu diberangus kembali. Namun kebebasan selama 4 tahun itu membuat standar menjadi lebih tinggi. Mulai banyak pihak yang melawan dan tidak terima aksi kesewenang-wenangan tersebut. Gerakan pro-demokrasi mulai bergerak secara terang-terangan, salah satunya adalah Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang diketuai oleh Budiman Sudjatmiko. Pada tahun 1996, beberapa tokoh seperti Nezar Patria, Budiman Sudjatmiko dll diculik dan disiksa setelah PRD membacakan manifestasinya sebagai parpol yang jelas-jelas oposisi. Dari ketidakadilan yang dialami oleh para aktivis dan simpatisan PRD inilah maka mulailah timbul gejolak-gejolak yang semakin besar, hingga sampai puncaknya Mei 1998. Soeharto akhirnya mengundurkan diri setelah didesak oleh mahasiswa dan masyarakat secara massif selama beberapa hari. Akhirnya kebebasan pers kita raih, dan semakin ditegaskan setelah disahkannya UU no 40 th 1999 tentang Pers. (Jesse Adam)

Sumber Gambar :

About Author

Advertisement

Posting Komentar

 
Top