Benar saja. Komputer jinjingku berdengking. Ding!
Konflik Politik dan Sosial dalam Perbedaan Bahasa
"Halo! Saya baru sampai rumah. Sedang apa, Dik?"
"Lagi nonton Monster University"
"Kok saya nggak pernah lihat monster di kampus kita, ya …, padahal, kita satu almamater"
"Ah masa sih? Aku sering liat. Monster itu dulu sering datang ke rumahku tiap malam Minggu sambil membawa sekuncup bunga mawar"
"Oh, jadi saya semenakutkan monster … pantas saja kamu tak mau kuboyong kemari"
"Aku kan masih kuliah. Sabar … satu semester lagi, ya …. Walaupun dengan monster, siapa pula yang nggak mau tinggal di Korea. Hihihi"
"Tapi saya edisi terbatas. Saya monster ganteng"
"Ih Kak Bowo jayus banget, sih"
"'Jayus' itu apa, Dik?"
Hingga setengah menit kemudian aku tak berkutik. Iring-iringan tawa dari obrolan kami selalu tersandung di sana—di masalah bahasa.
Aku dan Kak Bowo sudah bertunangan. Meskipun perbedaan umur kami cukup jauh -yaitu sebelas tahun- hubungan kami tetap begitu hangat. Kami mampu saling memahami emosi pasangan. Dalam setiap percakapan, Kak Bowo yang kini tengah melanjutkan studi doktoralnya di Korea Selatan, selalu mengarahkanku pada hal-hal yang berbau keilmuan. Aku senang saja, karena aku pun senang belajar. Aku berada dalam wadahnya.
"Jayus artinya orang yang bergurau dan mengira gurauannya lucu, padahal, sebenarnya gurauannya itu tidak lucu menurut orang lain. Maaf, ya, itu bahasa prokem—logat populer"
"Tidak perlu minta maaf. Saya memaklumi, kok. Bahasa sifatnya manasuka. Bahasa adalah alat, bukan?" Kalimatnya mengisyaratkan seakan-akan kami hidup di dunia yang jauh berbeda. Aku sedikit tak terima kenyataan, tapi perbicangan ini tetap menyenangkan. Aku melanjutkan.
"Menurut teori fungsional, kita dapat memahami struktur tata bahasa sebagai hasil dari proses adaptif dimana tata bahasa telah 'disesuaikan' untuk melayani kebutuhan komunikatif penggunanya . Itulah yang selalu kutakutkan dalam hubungan kita. Kita datang dari masa yang berbeda. Merujuk kembali pada narasi alkitab dari Menara Babel bahwa keberagaman bahasa menyebabkan konflik politik "
"Oh, ya? Lalu menurutmu mengapa banyak episode-episode kekerasan utama dunia terjadi di situasi dengan keberagaman linguistik yang rendah seperti Yugoslavia dan Perang Sipil Amerika, atau genosida oleh Jerman Nazi dan Rwanda ? Atau Indonesia misalnya yang keadaan politiknya sangat demokratis dan cukup sehat ini. Tenang saja. Kita –baik 'kita' dalam konteks kamu-dan-saya atau dalam konteks kita sebagai bangsa Indonesia– baik-baik saja …"
Apakah Indikasi Kepunahan Bahasa Indonesia?
Sejurus, aku lebih serius.
"Menyoal 'jayus', memangnya, bahasa Indonesia sebegitucepatnya berubahkah, Kak? Maksudku, Kakak sebagai seseorang yang sudah melampaui masa Raja Ali Haji, JS Badudu, Gorys Keraff, Anton M. Meliono, NH Dhini, Harimurti Kridhalaksana, Ramlan dan beberapa tokoh bahasa dan sastra lainnya"
"Adik cerdas. Itulah letak kesalahannya. Kita kekurangan tokoh bahasa. Sepenerawanganku, belum ada yang bisa menggantikan mereka. Mereka menjadikan kesusastraan dalam bahasa seperti aliran darah dalam nadi. Tak ayal selain terus berkarya mengembangkan bahasa, mereka juga menciptakan karya-karya sastra monumental"
"He? 'Aliran darah dalam nadi'? Wkwkwkwk !!! LOL !!! ROFLMAO !!!"
"Nah, yang baru saja kamu tulis adalah contoh bagaimana bahasa Indonesia bisa mengalami mati suri" aku berdecak. Menelan ludahku sendiri. "Pertama, kita didominasi oleh bahasa asing. Kedua, penggunaan bahasa pesan dengan menggunakan alat komunikasi yang berbasis tehnologi semakin tidak terkontrol. Coba, cek semua sosial mediamu! Apakah ada status yang menggunakan bahasa Indonesia baku? Konsensusnya adalah antara 50 dan 90% bahasa yang digunakan sejak awal abad ke-21 kemungkinan akan punah pada tahun 2100 "
"Kalau begitu, kita buat punah saja sekalian ya, Oppa … "
"Hus! Coba baca ini: 'minoritas linguis telah berargumen bahwa kehilangan bahasa adalah proses alami yang seharusnya tidak dinetralisir, dan dengan mendokumentasikan bahasa yang terancam punah demi keturunan sudah cukup' . Itu menurut Peter Ladefoged"
"Siapa dia, Kak?"
"Penulis. Aku hanya mengutip"
"Oh"
"Walau bahasa selalu menjadi punah selama sejarah manusia, sekarang mereka menghilang dengan laju semakin cepat dikarenakan proses-proses dari globalisasi dan neo-kolonialisme, di mana bahasa dengan kekuatan ekonomi mendominasi bahasa lainnya . Atau, contoh sederhananya adalah di rumah. Ibumu sudah tidak lagi menggunakan bahasa Indonesia yang baku, bukan? Saya masih beruntung, karena saya lahir dalam asuhan bahasa Indonesia yang (boleh dikatakan lebih) baku, karena dulu ibuku pun mengenal bahasa Indonesia sebagai bahasa keduanya yang harus diikuti ejaan dan tatanannya. Mengertos?"
Cara Kita Memelihara Bahasa Indonesia
"Sip! Raos! Jadi, tak apa kalau kusisipkan Bahasa Sunda di percakapan kita?"
"Bukan masalah besar. Keberagaman bahasa daerah justru harus senantiasa dipelihara untuk memperkaya bahasa Indonesia itu sendiri. Bahasa Indonesia dapat terus berkembang maju dengan diwarnai oleh kosa kata bahasa daerah, sehingga selain sebagai alat untuk melanggengkan bahasa daerah, ia dapat juga dijadikan sarana untuk menunjukkan kepada dunia bahwa bahasa Indonesia terus berkembang"
"KBBI akan semakin tebal, ya, Kak! Hahahaha. Kembali lagi, kalau bahasa daerah harus dilestarikan, maka bahasa prokem pun seharusnya mendapatkan tempat untuk berkembang, bukan? Karena bahasa adalah hasil dari proses budaya"
"Bahasa SMS sekalipun demikian, Dik. Memang menyoal bahasa 'baru' ini adalah pisau bermata dua: ia dapat memusnahkan bahasa, namun di sisi lain akan memperkaya bahasa Indonesia. Tergantung pribadi masing-masing"
"Tunggu, aku benci kalimat terakhirmu, Kak. Seakan-akan kalimat itu adalah penghapus dosa manusia. Kalau semuanya bergantung pada pribadi masing-masing, buat apa ada aturan hidup bersama? Justru inilah peran para ahli bahasa Indonesia untuk mengelola dan membuat korelasi antara bahasa dan perkembangan alat komunikasi. Bagian terpentingnya adalah usaha mereka mensosialisasikan 'hasil kerja' mereka kepada masyarakat sebagai upaya untuk terus mengembangkan bahasa Indonesia"
"Setuju, Dik!"
"Mubazir kalau bahasa Indonesia punah. Penuturnya kan sangat banyak. Nomor 10 di dunia !"
"Katanya , bahasa Indonesia juga diajarkan di 45 negara!"
"Aigo … saya juga mengajar bahasa Indonesia di sini, Dik!"
"Oh iya, ya! Untuk orang Korea yang akan bekerja di Indonesia, bukan?"
"Iya"
"Pantas saja, mengobrol denganmu begitu melelahkan, Kak—guru bahasa Indonesia, gitu … "
"Hahahaha. Ini latihan, kalau-kalau di Indonesia nanti menjadi dosen pembimbing skripsi. Boleh jadi membimbingmu menyelesaikan skripsi"
"Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui!"
"Benar. Eh, apakah kamu masih suka menulis esai dan cerpen?"
"Aku sibuk dengan bisnisku. Bahkan semua pelangganku menggunakan bahasa niaga: Bro, Sis, Kak, CoD, deal, dan lain-lain"
"Bah, apa pula itu, Dik?"
"Hahahaha"
"Kalau sempat, menulislah satu dua paragraf. Kita bisa turut merawat keberadaan bahasa dan secara tidak langsung akan mendokumentasikan karya-karya dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Lumayan, supaya kualitas dan kuantitas bahasa Indonesia tetap terjaga. Dirimu masih cinta bahasa Indonesia, kan, Dik?"
"Iya, Kak. Nanti aku sempatkan. Nanti aku akan mengganti namaku sekalian menjadi Raja Ratna Ali Haji, Ratna Badudu, atau Ratna Keraff"
"Hahahaha"
Konklusi
Pekatnya malam bersambut semilir angin. Jam berdentang 9 kali. Tak terasa sudah banyak pikir dan cerita yang berpilin, menjadi data binari, berputar menuju satelit kemudian terekstraksi dalam hati dan kepala Kak Bowo.
"Kita sebagai penutur bahasa, tokoh nasional, tokoh bahasa, tokoh sastra, guru dan pendidik adalah pengembang bahasa. Bahasa adalah produk yang unik, karena bahasa dibentuk oleh penggunanya sendiri. Alih-alih menuduh teknologi sebagai penghambat, kita dapat melihat keberadaannya sebagai pintu terbuka yang menyilakan kita memperkenalkan bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional. Seyogyanya, kita berbangga berbahasa Indonesia. Kita tidak melulu mengekor kepada bangsa asing, melainkan menjadi rujukan dalam berbagai bidang kehidupan terutama budaya dan peradaban"
Aku mengangguk. Mengirimkan tanda jempol pertanda suka.
"Cakep, ya, mengobrol denganku?"
Aku hanya terkekeh seraya berusaha memindai topik menarik lain di kepalaku.
"Typo! Capek, ya, maksudnya? Iya, capek, tapi aku senang sudah banyak belajar hari ini. Aku diberi es krim, ya, 'Pak Guru', kalau 'Pak Guru' sudah pulang ke tanah air" aku merajuk. Kemudian dikirimnya emoticon kecup dengan titik dua (:) diikuti tanda bintang (*).
"Sudah pukul 11 malam di Gangneung. Kakak belum tidur?"
"Iya … sekarang saya sedang mimpi sambil mengetik"
"Hahaha … kali ini Kakak nggak jayus!"
"Yes!"
"Aku harus rapat daring dengan temen-temanku sekarang. Aku pamit. Selamat beristirahat!"
"Tunggu dulu! 'Daring' itu apa?"
"Itu bahasa Indonesia yang baku, loh, Kak. 'Daring' artinya dalam jaringan alias on-line"
"Oh, terima kasih. Kamu memperkaya khazanah kosakataku"
"Kembali kasih, Kak Mons! Hehe"
"Baiklah. Salam hangat untuk Dik Ratna dari monster ganteng di Gangneung!"
Catatan kaki:
[1] Esai bertemakan punahnya bahasa Indonesia yang dibungkus dengan
gaya tulisan fiksi. Esai ini menggunakan tata tulis esai dengan gaya APA
[2] Mahasiswi Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas
Ekonomika dan Bisnis, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia.
[3] Evans, Nicholas; Levinson, Stephen C. (2009). The myth of language
universals: Language diversity and its importance for cognitive science 32 (5).
Behavioral and Brain Sciences. hlm. 429–492.
[4] Haugen, Einar (1973). "The Curse of Babel". Daedalus 102
(3, Language as a Human Problem): 47–57
[5] Austin, Peter K; Sallabank, Julia (2011). "Introduction".
In Austin, Peter K; Sallabank, Julia. Cambridge Handbook of Endangered
Languages. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-88215-6.
[6] Wkwkwkwk adalah prokem
dalam Bahasa Indonesia yang merupakan ekspresi tertawa
[7] LOL adalah kata prokem dalam Bahasa Inggris yang
merupkan akronim dari Laugh Out Loud;
berarti tertawa kencang
[8] ROFLMAO adalah kata prokem dalam Bahasa Inggris yang
merupkan akronim dari Rolling on Floor
Laughing My Ass Off; berarti berguling-guling di lantai sambil menertawai
bokongku
[9] Austin, Peter K; Sallabank, Julia (2011). "Introduction".
In Austin, Peter K; Sallabank, Julia. Cambridge Handbook of Endangered
Languages. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-88215-6.
[10] "Oppa" ditulis 오빠 dalam Bahasa Korea adalah kata sapaan untuk
kakak laki-laki dari seorang adik perempuan
[11] Ladefoged, Peter (1992). "Another view of endangered
languages". Language 68 (4): 809–811
[12] Austin, Peter K; Sallabank, Julia (2011). "Introduction".
In Austin, Peter K; Sallabank, Julia. Cambridge Handbook of Endangered
Languages. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-88215-6
[13] Berdasarkan data yang dilansir oleh
www.krysstal.com### , bahasa Indonesia saat ini menduduki posisi ke-10 di
antara 30 bahasa dunia yang paling banyak penuturnya. bahasa Indonesia di
daftar itu bersinergi dengan bahasa Melayu
yang digunakan oleh negara-negara seperti Indonesia, Malaysia dan Singapura
dengan jumlah penutur 175 juta
[14] Menurut Andri Hadi , Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi
Publik Departemen Luar Negeri ###
[15] Aigo! ditulis 아이고! dalam Bahasa Korea adalah kata seru yang berarti
"alamak!"
[16] Emoticon adalah istilah teknologi dalam tradisi
percakapan. Emoticon membuat beberapa
gabungan simbol memiliki makna baru karena menyerupai gambar ekspresi. Misalnya
titik dua (:) diikuti kurung tutup ()) yang berarti komunikator memberikan
tanda senyum pada komunikan.
Referensi:
Austin, Peter K; Sallabank, Julia (2011). "Introduction". In Austin, Peter K;
Sallabank, Julia. Cambridge Handbook of Endangered Languages. Cambridge
University Press.
Evans, Nicholas; Levinson, Stephen C (2009). The myth of language universals: Language
diversity and its importance for cognitive science.
Haugen, Einar (1973). "The Curse of Babel".
Ladefoged, Peter (1992). "Another view of endangered
languages"
Samantha, Gloria (2011). " Apa Saja Faktor Punahnya Bahasa
Etnis di Indonesia? " http://nationalgeographic.co.id/berita/2011/12/apa-saja-faktor-punahnya-bahasa-etnis-di-indonesia.
Diunduh pada 1 Maret2014
Posting Komentar