Kami
putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Sumpah PemudaKami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
B
|
angsa Indonesia boleh berbangga
karena disatukan oleh bahasa. Bahasa apapun itu, dapat membantu kita untuk
menyampaikan suatu isi pesan dalam proses komunikasi.
Namun, pada kenyataannya eksistensi
penggunaan bahasa Indonesia ini semakin bergeser dengan munculnya bahasa gaul.
Ya, anggapan bahwa bahasa Indonesia yang baik dan benar hanyalah milik mereka
yang hidup di zaman dahulu. Bahasa Indonesia adalah bahasa formal yang biasa
digunakan oleh bapak-bapak, dalam acara yang formal juga. Bahasa Indonesia
sekiranya juga merupakan alat yang digunakan dalam surat-surat resmi yang tertulis.
YA KELEEUUSSS! Uppss…
Tahukah kalian, Muhammad
Yamin bersama pemuda lainnya udah berjuang untuk menjunjung tinggi bahasa
persatuan, yakni bahasa Indonesia. Dulu, dalam Sumpah Pemuda pada kalimat
ketiga tertulis begini, “Kami putra dan
putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Melayu.”
M. Tabrani
mempertanyakan, “Apabila tanah dan bangsa kita sudah Indonesia, mengapa bahasa
kita adalah bahasa Melayu?” Sejak saat itu, Sumpah Pemuda pun lahir dari
Kongres Pemuda kedua pada 27-28 Oktober 1928. Lengkaplah sudah formula negeri
ini: tanah Indonesia, bangsa Indonesia, juga bahasa Indonesia.
Bila para pemuda
yang memperjuangkan sumpah itu masih hidup hingga kini, tak ayal mereka akan
bersedih. Masyarakatnya kini malah tak bisa mempertahankan sesuatu yang telah
diperjuangkan dulu. Padahal, menggunakan bahasa Indonesia merupakan salah satu
cara untuk mencintai negeri kita ini. Bahasa adalah alat pemersatu, dari
sanalah muncullah semangat nasionalisme.
Bayangkan saja,
bahkan semangat ini bisa dikobarkan hanya lewat lidah dan pita suara!
Hmm… tak heran
bukan apabila Presiden Republik Indonesia yang pertama, yakni Soekarno, mampu
menyulut semangat para pemuda-pemudi Indonesia lewat pidato yang mengagumkan.
Ketegasan di setiap katanya mampu membuka mata dan pikiran. Lihat, apa yang
sudah dilakukan bahasa Indonesia untuk kita?
Sewaktu masih
duduk di bangku kuliah Semester 1, saya masih mendapat mata kuliah Bahasa
Indonesia. Bagi saya, materi ini susah-susah gampang karena saya baru sadar,
ada banyak hal di tentang bahasa ini yang tidak saya ketahui sebelumnya. Namun,
saya bersyukur karena saya menjadi tahu karena saya ketidaktahuan tersebut.
Niknik M.
Kuntarto, dosen Bahasa Indonesia Universitas Multimedia Nusantara seolah
menjadi virus baik bagi para mahasiswanya. Dia adalah dosen saya. Dengan gaya
ajar yang menyenangkan lewat Kuis Bintang-bintang, mahasiswa jadi lebih mudah
memahami penggunahan bahasa yang baik dan benar.
Setiap selesai
menyampaikan materi, Bu Niknik akan memberikan kuis terkait materi yang baru saja
diberikan. Bila berhasil menjawab, kami akan diberi satu bintang. Nah, semua
bintang ini harus dikumpulkan. Minimal ada 20. Dengan 20 bintang, kami tidak
perlu mengerjakan Ujian Akhir Semester Bahasa Indonesia dan langsung mendapat
nilai A!
Sejenak saya
berpikir, ini adalah tawaran yang menarik!
Seiring kami
berproses di dalam kelas, nyatanya Bu Niknik sukses menyebarkan virus cinta
bahasa Indonesia! Kuis ini akan selalu membuat kami berlomba-lomba dan berpikir
dengan cepat mengenai jawaban terbaik.
Dia akan
melarang kami untuk menggunakan kata “terus” yang kerapkali kami artikan
sebagai kata “kemudian, lalu, atau selanjutnya.” Terus, nyatanya saya juga
mendapat banyak pelajaran. Nah, itu salah. Seharusnya, selanjutnya saya juga
mendapat banyak pelajaran. Kira-kira seperti itu.
Dosen saya ini
juga selalu melatih daya kekritisan kami begitu saja. Dia pernah berkata,
“Kalau ada sesuatu yang salah dari bahasa Indonesia, coba benarkan. Kalau kita
membiarkannya, maka hal yang salah akan tetap salah… dan selamanya kita juga
akan salah.” Ya, kurang lebih seperti itulah perkataannya.
Butuh sekian
menit untuk mencerna perkataannya. Ada benarnya juga.
Itulah yang
menjadi prinsip saya dalam menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar
hingga kini. Bahkan, ketika saya melihat-lihat banyak tulisan di jalan, di
buku, di kardus makanan, di pintu toilet, di jembatan, di spanduk, di manapun
itu, saya selalu mencoba kritis.
“Tulisannya salah tuh. Seharusnya, dibuang di tempat
sampah, bukan di buang ditempat sampah.”
Gumaman-gumaman
kecil itu tak pernah membuat otak saya berpikir. Itu malah membuat saya
ketagihan untuk terus mencintai bahasa Indonesia hingga kapanpun.
Tak dimungkiri,
kehadiran bahasa gaul dalam pergaulan sosial tampaknya semakin berekpansi.
Bukan hanya masyarakat perkotaan saja yang kian akrab, melainkan juga dengan
masyarakat di desa. Kehadiran bahasa gaul ini semakin merambah akibat sulit
dikendalikannya mobilitas urbanisasi. Ditambah lagi, adanya anggapan bahwa
mengadu nasib di kota-kota besar akan meningkatkan finansial.
Memang, bahasa
gaul seperti bisa dipandang sebagai suatu kreativitas. Sayangnya,
kekreativitasan ini malah menyudutkan bahasa nasional kita, bahasa Indonesia.
Ketika seseorang berinteraksi dengan kelompok yang sudah “keracunan” bahasa gaul,
lantas seseorang itu juga akan ikut terjerumus ke dalamnya.
Faktor lain yang
menyebabkan semakin meluasnya penggunaan bahasa gaul adalah canggihnya
teknologi masa kini. Sarana untuk bertukar informasi dengan yang lainnya
semakin mempermudah mereka untuk menggunakan bahasa gaul.
Bahasa gaul itu
sebenarnya tidak dilarang, asalkan tahu tempat dan waktu penggunaannya. Bahasa
gaul itu diperbolehkan, asalkan tahu benar apa fungsi dan tujuannya.
Untuk mencegah
penggempuran bahasa gaul atas bahasa nasional kita, ada beberapa upaya yang
bisa dilakukan guna menekan arus.
Pertama, sebagai
generasi penerus bangsa, biasakanlah untuk menggunakan bahasa Indonesia yang
sesuai dengan kaidah. Hindari penggunaan bahasa gaul yang akan mendistraksi
pemilihan kata kita sehingga kita bisa terbiasa menggunakan bahasa yang baik
dan benar. Tingkatkan kesadaran untuk melestarikan bahasa karena bahasa
merupakan budaya yang diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang kita.
Hal itu jugalah
yang saya lakukan di media kampus tempat saya bernaung. Saya selalu berusaha
memerhatikan setiap penggunaan kata supaya pengaplikasiannya tepat. Mata
pembaca yang menikmati tulisan di majalah kampus saya pun tidak harus
terdistraksi dengan penggunaan bahasa yang tidak semestinya.
Kemudian, pendidikan
dan pengajaran Bahasa Indonesia di sekolah dan perguruan tinggi harus lebih
ditingkatkan. Tanamkan rasa cinta dan tanggung jawab akan penggunaan bahasa
Indonesia sejak dini agar penerapannya bisa maksimal. Hal ini bisa dilakukan
dengan berdiskusi, berdialog, menulis cerpen, bermain drama, dan sebagainya.
Pemerintah juga
bisa mengampanyekan masyarakat yang cinta bahasa. Mudahkan masyarakat untuk
mencintai dengan memproduksi film-film dengan bahasa Indonesia, atau lewat
lirik-lirik musik yang menggunakan bahasa nasional. Bisa juga lewat buku-buku
yang ditulis sesuai Ejaan yang Disempurnakan (EYD).
Bahkan, saya pun
pernah berbagi ilmu dengan editor novel saya tentang penggunaan bahasa.
Penggunaan bahasa yang sesuai dengan EYD menjadi salah satu faktor novel saya
bisa diterbitkan. Dari hal sekecil ini saja sudah bisa memberi keuntungan yang
menurut saya luar biasa. Tak diragukan lagi, bahasa membantu saya untuk
mewujudkan Indonesia yang lebih baik.
Ya, perlu
ditekankan kembali bahwa bahasa adalah identitas budaya, identitas nasional.
Penggunaan bahasa gaul secara tak sadar akan menghambat pertumbuhan dan
perkembangan bahasa nasional kita. Apa perlu bahasa Indonesia diklaim negeri
lain baru kita mencintainya dengan utuh dan sepenuhnya? Lantas, masih berpikir
untuk menggeser bahasa Indonesia dengan bahasa gaul?YA KELEEUUSSS! Uppss…
Penulis, Sintia Astarina adalah mahasiswi Universitas Multimedia Nusantara adalah pemenang juara kedua dalam Lomba Esai Oranye 2014 yang diumumkan dalam Fikom Expo 2014 "The Power of Journalism" pada 7 Maret 2014.
Daftar Pustaka
Saputra, Eko Rizal.
2012. Makalah Penggunaan Bahasa Gaul di Kalangan Remaja dalam http://ekorizalsaputra.wordpress.com/2012/11/24/makalah-penggunaan-bahasa-gaul-di-kalangan-remaja/
Zoom. 2013. Penggunaan
Bahasa Gaul dalam Perkembangan Bahasa Indonesia dalam http://zoombosscoot.blogspot.com/2013/10/penggunaan-bahasa-gaul-dalam.html
Terima kasih, Anda masih ingat Kuis Bibtang-Bintang.
BalasHapusSemoga makin sehat dan hebat!