Ibarat pepatah, “sudah jatuh tertimpa tangga pula”, begitulah nasib korban kekerasan seksual. Setelah menjadi korban oleh pelaku, mereka juga menjadi korban dari pemberitaan media yang memberi stigma pada korban.
Pemberitaan media yang secara gamblang menyebut identitas korban semakin membuat korban kejahatan seksual merasa tak berharga, lemah, terbuang, murung, mengucilkan diri, dan tak berdaya. Padahal sudah jelas tertuang dalam Kode Etik Jurnalistik pasal 5 “Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.” Namun, masih banyak media yang memilih untuk mempublikasikan korban kejahatan seksual. Alih-alih membantu, pengungkapan identitas ini malah membuat korban kejahatan seksual mengalamai trauma karena masyarakat semakin mengetahui permasalahan yang dihadapi.
Rabu, 11 Januari 2012 kemarin, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengadakan diskusi tentang “Etika Perlindungan Privasi dalam Peliputan Kejahatan Seksual” di kantor Komnas perempuan. Hadir sebagai narasumber antara lain, Uni Lubis (Dewan Pers), Helga Worotitjan (Lentera) dan Masruchah (wakil ketua Komnas Perempuan), dan dimoderatori oleh Rach Alida Bahaweres dari AJI. Lebih dari 47 Jurnalis baik cetak, tv, maupun online ikut ambil bagian dari diskusi ini. Oranye Media Fikom Untar, juga turut ambil bagian dalam diskusi ini.
Helga Worotitjan |
Seperti yang diungkapkan oleh Uni Lubis dalam diskusi, banyak jurnalis sering mengesampingkan hak-hak privasi korban dengan berlindung dibalik alasan The right of public to know dan freedom of press. Padahal, menghormati privasi korban kejahatan asusila adalah bagian dari hak privasi yang dijamin oleh konstitusi, dan harus dihormati oleh media.
Diskusi ini juga menyajikan data dan fakta tentang jumlah kasus kekerasaan seksual yang ada. Berdasarkan pantauan Komnas Perempuan pada 1998-2011, hampir seperempat kasus yang tercatat adalah kekerasan seksual atau 93.960 kasus kekerasan seksual dari 400.939 kasus yang terpantau. Lima jenis kejahatan seksual terbanyak adalah perkosaan (4.845 kasus), perdagangan perempuan untuk tujuan seksual (1.359 kasus), pelecehan seksual (1.049 kasus) penyiksaan seksual (672 kasus) dan eksploitasi seksual (342 kasus). Dan hampir sebagian besar dari kasus ini terjadi pada saat pacaran seperti yang diutarakan oleh Masruchah, wakil ketua komnas perempuan dalam diskusi tersebut.
Uni Lubis memaparkan materi |
Peristiwa kekerasan seksual membunuh harga diri dan sebagian kehidupan korban. Ia merasa lebih rendah dibandingkan dengan orang lain pada umumnya. Demikian diungkap Helga Worotitjan, dari Lentera Indonesia. Helga Worotitjan juga mempopulerkan istilah penyintas. Penyintas adalah korban kejahatan yang sudah melewati masa-masa terberat setelah kejadian, berfungsi secara sosial dan berusaha berfungsi secara emosional.
“Banyak jurnlis ketika mewawancarai korban, justru malah menghadirkan trauma bagi korban. Waspadai stress trauma pada korban”, ungkap Helga Worotitjan.
Hal ini senada seperti yang diungkap oleh Uni Lubis, dari Dewan Pers,
“Sebelum meliput, saat mewawancara, mengedit dan menyajikan ke publik, pikirkan seandainya korban kejahatan yang akan kita beritakan adalah orang yang kita kenal, kita sayangi. Pikirkan jika media lain menulis tanpa empati, sebagaimana yang akan kita lakukan, bagaimana perasaan kita..?” tutupnya. (Elwi)
entah gmn cranya agar ketika wartawan mewawancarai korban kejahatan seksual, tdk menambah beban bagi si korban. atau mgkn sebaiknya tdk perlu diliput,artinya wartawan tw infonya tp tak perlu dijelaskan secara sangat detail,seperti asal korban (asal sekolah atau tempat tinggal) dan kronologis kejadian..waduh,memang kemungkinan besar bisa menimbulkan trauma...
BalasHapusseringkali korban seksual itu mempunyai beban mental yang dalam, sehingga mesti harus hati-hati dalam mewawancarai para korban seksual. Jangan sampai malah menambah beban mental si korban.
BalasHapusSalam,
olivia dewi