Perhimpunan
Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) adalah sebuah wadah alternatif dan salah satu
bagian dari wadah pers mahasiswa di Indonesia. Menjejaki usia ke-20, PPMI
merayakan hari jadinya dengan menggelar serangkaian acara berupa seminar
nasional, persma fair, temu alumni
dan field trip.
Untuk
mengenal PPMI lebih jauh, tim liputan Oranye berkesempatan untuk mewawancarai Sekretaris
Jenderal Nasional PPMI periode 2012/2013. Berikut wawancara ekslusif kami dengan
Defy Firman Al Hakim.
Apa yang menjadi
tolak ukur keberhasilan PPMI dalam menyelenggarakan Dies Natalis XX PPMI? Dan
sejauh mana tolak ukur tersebut berhasil tercapai?
Jadi begini. Dies Natalis ini digelar
sebagai ajang evaluasi tengah kepengurusan PPMI. Tolak ukur keberhasilannya
adalah teman-teman paham apa yang harus dilakukan dan dikerjakan(dalam
kepengurusannya). Bagaimana berhubungan dalam satu organisasi, LPM dan antar
dewan kota. Jadi, tolak ukur yang kedua adalah informasi tersebut dapat
didistribusikan dan dilaksanakan dengan baik oleh teman-teman di masing-masing
daerah.
Berdasarkan rapat
evaluasi tengah kepengurusan ini, apa kesimpulan yang didapat?
Salah satu kelemahan yang harus
diperbaiki ialah pola komunikasi antar daerah. Terutama teman-teman LPM, masih
ada yang menganggap kegiatan PPMI dan LPM itu berbeda, padahal tidak. Contohnya,
aku berasal dari pers mahasiswa. Ketika aku terpilih menjadi Sekjen Nasional
(PPMI), (otomatis) LPM-ku menjadi sekjen nasional.
Melihat atmosfer
rapat evaluasi tengah kepengurusan PPMI yang sedemikian panas, bagaimana
solusinya?
Selain masalah roda organisasi dan isu
bersama, Dies Natalis ini juga ingin mengingatkan kembali bahwa ada 3 hal yang
harus dibawa pulang. Pertama, menyadarkan kembali LPM di seluruh daerah tentang
paradigma klasik pers. Sehebat apapun LPM-nya, tidak akan mampu mengangkat
(suatu) isu secara penuh. Jadi agar tidak dikatakan onani, kita musti bertautan
untuk mengangkat isu itu. Tautan ini, di samping kesalahpahaman yang ada juga
diharapkan mampu menumbuhkan kepedulian antar LPM. LPM yang besar tidak
sombong. LPM kecil juga tidak menjadi minder. Bersatu-padu ke posisi tawar pers
Indonesia.
Kedua, mengingatkan kembali bahwa ada
media alternatif lain, yakni seperti Tv dan radio kampus yang selama ini belum
kita ajak. Harapannya suatu saat kita bisa berjalan bersama-sama sehingga lebih
kuat lagi membentuk opini publik.
Ketiga, masalah cerdas bermedia. Kita
adalah pers mahasiswa yang masih belajar bermedia. Kita harus belajar
(mengenai) media yang baik itu seperti apa, bagaimana memfilter media. Laah,
diharapkan teman-teman LPM dapat mentransformasikan cerdas bermedia itu ke
publik umum. Minimal ke kampus masing-masing. Sebab terkadang orang tidak sadar
(adanya) setting media.
Sebenarnya apa
masalah utama LPM-LPM yang tergabung dalam PPMI?
Ada 2 masalah utama yang membuat kami
tidak satu padu, (yakni) LPM-LPM masih tidak paham bagaimana bermedia
alternatif dan yang kedua adalah ego LPM atau kedaerahan, ego almamater. Contohnya
saat ada undangan dari LPM kecil, mereka yang dari LPM besar akan berpikir, ‘sorry laah, aku dapat apa dari sana?!’
Naah, masalah-masalah seperti inilah yang ingin kita kikis supaya ada
ketertautan itu.
Namun saya yakin, dari Dies Natalis
kemarin ada kesadaran sedikit. ‘Ooh..aku ada teman, aku tidak sendiri. LPM ini
tidak sendiri.’ Kerentetan dan pertautan LPM di Indonesia ini tidak peduli
daerah tapi yang penting bagaimana kita dapat mengangkat isu bersama-sama.
Sejauh apa bantuan
yang diberikan PPMI bagi LPM-LPM daerah?
Kita di PPMI ini (orientasinya dari) LPM
untuk LPM. Adapun yang dibantu PPMI adalah menjadi mediator antar LPM-LPM
daerah. Mediator dalam menggelar acara, pembacaan isu bersama. Contohnya, isu
bersama kita tahun ini (tentang) lingkungan. (Kami juga memediasi) bagaimana
kita bisa mengangkat isu secara general
dari daerah ke daerah.
Adakah bantuan
keuangan dari PPMI ke LPM?
PPMI sendiri menghindari intervensi
modal-modal besar. Oleh karena itu, kami juga berusaha mengoptimalkan media online. Dan untuk menjaga independensi,
tidak ada bantuan dana untuk daerah-daerah. Kalaupun kami perlu dana untuk
acara, kami bisa menggalang dana sendiri dari organisasional dan alumni.
Kami agak sensitif dengan dana
internasional. Banyak hal dari luar negeri yang tidak baik untuk kita. Atas
nama HAM, mereka memrotoli NKRI. Atas
nama Feminisme, perempuan dijadikan upah negeri sehingga anak-anak
pendidikannya tidak terkawal dengan baik.
Terakhir, apa
harapan Deffy untuk keberlangsungan PPMI?
Yang jelas harapan untuk periodeku ini,
mengingatkan kembali bahwa teman-teman LPM itu hanya LPM, musti bertautan.
Masalah kita output-nya nanti ke mana
itu terakhir. Yang penting ketika kita bermedia alternatif ini isu yang kita
kawal ini disuarakan bersama. Harus bareng agar pers mahasiswa ini semakin kuat
dan dilihat, tidak hanya menjadi UKM.
Terutama dilihat oleh publik Indonesia, khususnya Dewan Pers karena
mereka masih meremehkan kita. Padahal apa yang kita lakukan ini tidak
main-main.
Satu lagi, website kita bersama sekarang ini masih fokus ke isu kota dan
sebagai sekretariat online. Kalau mau
berjalan bagus, (situs non-profit) ini ke depannya kita akan bikin portal
berita yang cakupannya lebih luas. Segala angle
permasalahan kita bahas di sana dengan paradigma pers mahasiswa yang apa
adanya, tanpa ada kepentingan pemodal. Dan yang berhak masuk ke sana adalah
setiap anggota LPM yang terdaftar dalam LPM-nya yang diserahkan ke dewan kota
dan (selanjutnya) ke dewan nasional.
Bayangkan, nantinya akan ada portal
berita seperti situs dotcom di kota-kota besar. Namun tulisannya berasal dari
kontributor pers mahasiswa di seluruh Indonesia. Jika task ini sukses, sudah, PPMI yang selama ini dipertanyakan eksistensinya
tidak dipandang sebelah mata atau seputar kampus lagi.
(Tim Liputan Oranye)
Posting Komentar