Tujuh September, Nir.
Dan darahmu jadi darahku.
Dan nafasmu jadi nafasku.
Dan matimu jadi hidupku.
Ini tujuh September keberapa sejak kau
dipaksa bungkam ?
Tapi kami tidak tinggal diam, Nir, tidak
pernah.
Mereka salah.
Kami berteriak.
Siang.
Malam.
Amarah berang dan tangis kelam.
Hingga akhirnya, dalam sedih marah malam,
kami beranikan untuk bertanya,
“apakah untuk sebuah senyum sejati, harus
ada airmata yang cukup perih, untuk membuat senyum itu berarti, Han? Tuhan?”
Teruntuk Munir, sebuah senyum sejati bagi
kemanusiaan.
(matimu tak membuat mereka menang, namun
kalah sebagai manusa, dan jadi binatang)
(Jesse Adam Halim)
Posting Komentar