Tewasnya seorang wartawan foto dari Italia Rabu (18/5) lalu menambah
deretan jurnalis yang tewas dalam peristiwa kerusuhan demonstran
dengan militer di Bangkok, Thailand. Sampai saat ini sudah tercatat 3
orang jurnalis tewas dalam aksi kerusuhan di Bangkok, Thailand.
Kebanyakan para jurnalis dalam meliput kerusuhan dan bentrokan ini
bergabung dengan para demonstran. Hujan peluru bisa membidik siapa
saja yang ada di tempat tanpa pandang bulu, termasuk jurnalis. Kasus
tewasnya para wartawan di daerah konflik kian bertambah dan menandakan
besarnya pertaruhan nyawa seorang jurnalis di daerah konflik. Bahkan,
ada beberapa kasus tertembaknya wartawan di daerah konflik tak tuntas
dipertanggungjawabkan padahal pekerjaan wartawan dalam meliput berita
dilindungi oleh berbagai regulasi dan kode etik.
Menoreh 7 tahun silam, tepatnya 29 Desember 2003, seorang reporter
RCTI, Ersa Siregar, tewas dalam aksi tembak-menembak setelah ditawan
bersama kameramen RCTI, Ferry Soentoro, oleh kelompok separatis
GAM(Gerakan Aceh Merdeka). Bang Ersa, begitulah panggilannya,
merupakan salah satu jurnalis Indonesia yang harus merenggang nyawa
dalam melakukan pekerjaan jurnalistiknya. Ada wacana tewasnya Bang
Ersa diusut tuntas untuk dibawa ke pengadilan, tetapi pada akhirnya
keluarga Bang Ersa menolaknya. Tewasnya salah satu jurnalis senior
Indonesia ini pun tenggelam bagai ditelan bumu.
Alasan beberapa orang enggan menjadi wartawan karena diantaranya takut
diutus ke daerah konflik. Peristiwa konflik mengandung nilai berita
yang tinggi, seperti ketegangan, dramatik, konflik, dan sebagainya.
Karena bernilai, peristiwa ini penting untuk diinformasikan kepada
masyarakat.
“Seorang jurnalis di daerah konflik harus siap mental, siap lahir
batin. Mereka juga harus mengenal kultur budaya daerah yang mereka
liput. Selain itu, juga perlu menyiapkan berbagai beralatan dari
kantor seperti rompi anti peluru, obat-obatan, dan sebagainya,” ujar
Ferry Soentoro yang pernah bersama Ersa Siregar ditawan GAM selama 345
hari pada kuliah umum Jurnalistik Media di Fikom Untar Kamis (20/5).
Ferry menyatakan seorang jurnalis harus bersikap profesional dan siap
menerima segala risiko dalam meliput. Umumnya, media yang mengutus
jurnalisnya ke daerah konflik akan menunjuk mereka yang sudah siap,
senior dan jam terbangnya sudah tinggi.
“Setelah selamat dan pulang, kami tetap diberi penghargaan dari banyak
pihak, termasuk dari media tempat kami bekerja,” ujarnya tersenyum
lebar.
Tak ada penyesalan dalam benak Ferry sebagai jurnalis yang telah
merasakan jadi tawanan di daerah konflik. Kekecewaan yang dirasakannya
adalah kepergian almarhum rekan sejawatnya, bahkan rekan
seperjuangannya, Ersa Siregar. Pekerjaan wartawan adalah pekerjaan
yang harus melibatkan mental, tetapi hati nurani ikut bicara. Ferry
berpesan agar mahasiswa Fikom Untar yang menjadi calon jurnalis untuk
berpijak pada profesionalisme dan hati nurani. Memang berada di daerah
konflik harus mempertaruhkan nyawa, betapa mulianya mempertaruhkan
nyawa untuk melaporkan peristiwa kepada masyarakat. (SW, Oranye).
About Author

Advertisement

Related Posts
- Buletin Perdana Oranye | Jangkar 001/November/201428 Nov 20140
Jangkar_BuOranye by Weare Oranye Fikom UntarRead more »
- Basket Piala Dekan dan Pudek 201424 Nov 20140
Normal 0 false false false IN KO X-NONE ...Read more »
- Serunya Futsal Piala Dekan dan Pudek 201424 Nov 20140
Normal 0 false false false IN KO X-NONE ...Read more »
- UNTAR GOES TO GLOBAL ENTREPRENEUR WEEK SUMMIT INDONESIA 201422 Nov 20140
Jumat (21/11/2014), Universitas Tarumanagara diundang secara khusus untuk hadir dalam acar...Read more »
- Marco Kusumawijaya: Masih Banyak Persoalan yang Tidak Dapat Diselesaikan Negara07 Nov 20140
Jakarta – MNC TV mengadakan malam penganugerahan untuk para kandidat MNCTV “Pahlawan untuk Indo...Read more »
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.