Beberapa hari lalu, tepatnya hari Kamis, 16 September 2010, warga ibukota dikejutkan dengan peristiwa ambrolnya sisi utara jalan raya RE Martadinata sepanjang 103 meter. Kejadian yang terjadi pukul 03.15 WIB dini hari itu kemudian menimbulkan indikasi dari beberapa ahli bahwa Jakarta Utara akan tenggelam pada tahun 2030.
Tentu hal ini menjadi hal yang mengejutkan sekaligus menakutkan khususnya bagi warga Jakarta Utara. Apalagi berdasarkan pernyataan yang dilontarkan oleh Direktur Ketua Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) DKI Jakarta, bahwa daerah yang paling rentan mengalami hal serupa dimulai dari Cilincing, Pademangan, Gunung Sahari, Ampera hingga Muara Angke. Jelas pernyataan ini sangat mengkhawatirkan bagi warga daerah-daerah tersebut.
”Ya jelas takut,” ungkap Anastasia Fanny (23), salah satu warga Pademangan, ”dengan adanya peristiwa ini jelas sangat menyusahkan masyarakat Jakarta”. Tempat tinggalnya yang berada di Jalan Hidup Baru No 119, Pademangan Barat ini memang tidak berada jauh dari lokasi ambrolnya jalan RM. Martadinata. Kira-kira hanya dibutuhkan sekitar 15 menit perjalanan untuk sampai di lokasi kejadian. Atas kekhawatiran dan indikasi Pademangan akan tenggelam pada beberapa tahun mendatang tersebut ia mengaku ingin pindah rumah jika mempunyai tabungan lebih.
Menurutnya, kejadian ini merupakan tanggung jawab pemerintah dalam mengatur tata kota yang seharusnya ramah lingkungan. Padatnya penduduk menyebabkan lahan hijau semakin terjepit oleh lahan perumahan dan berbagai pusat perbelanjaan. ”Saya rasa, memang Jakarta sudah terlalu banyak orang, maka dari itu saya setuju dengan usulan untuk memindahkan pusat pemerintahan ke daerah lain, apalagi dengan keadaan udara yang semakin tidak sehat, banyak daerah yang susah air, saya rasa harus dilakukan usaha transmigrasi sebagian penduduk Jakarta,” lanjutnya melontarkan pendapat.
Di sisi lain, Yap Giok Hoa (46) yang juga merupakan warga Pademangan, memilih untuk tetap tinggal di rumah yang ia telah tempati sekarang. ”Ngak, saya gak mau pindah. Takut si takut, tapi lokasi kejadiannya jauh kok,” tuturnya seakan berat meninggalkan rumah yang sudah ia tinggali semasa hidupnya.
Kejadian ini memang menjadi semacam pertanda bagi pemerintah dan masyarakat Jakarta untuk semakin sadar akan pemeliharaan lingkungan hidup. Peristiwa ini memang bukanlah disebabkan karena konstruksi bangunan semata, tapi juga merupakan akibat proses alam. Namun meskipun begitu, tentu jika kita melakukan tindakan, proses alam ini dapat berubah dan dicegah sehingga bisa kembali bersifat ergonomis.
Oleh : Florensia Ranny
Posting Komentar