Seperti kita ketahui, ada dua
kasus besar yang sedang menguji ketahanan negara kita, yaitu korupsi dan
terorisme. Dua konflik lahir batin inilah yang sepanjang sejarah nasional terus
menggerogoti keagungan perjuangan Hak Asasi Manusia (HAM). Korupsi adalah fenomena. Setujukah Anda
dengan istilah itu?
Lebih dari sebuah fenomena, bukankah
korupsi kini telah mewabah? Lebih dari sekadar penyakit masyarakat, korupsi
telah merasuk jadi budaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tidak hanya dalam pemerintahan seperti yang banyak dibidik media, korupsi juga
terjadi sehari – hari. Selain berorientasi pada
penyelewengan dana, bentuk dari tindak korupsi beragam, misalnya korupsi waktu
dan korupsi rambu lalu lintas.
Mengapa korupsi
terjadi?
Hal inilah yang harus, kudu, musti,
perlu didalami segenap umat yang berakal-budi dan berhati-nurani. Dalam
tinjauan psikologi, setiap sikap, tindakan dan perilaku individu merupakan
hasil interaksi antar faktor intra, dari dalam diri sendiri maupun inter, dari
luar diri.
Faktor dari dalam diri merupakan
kepribadian individu yang membuat orang cenderung menahan id (naluriah
kebinatangannya), dalam hal ini menahan diri dari godaan melakukan tindak
korupsi. Faktor intra mencakup dua hal, yaitu motivasi diri dan moralitas.
Menurut konsep motivasi berprestasi yang dikembangkan David McClelland (1963),
motivasi berprestasi yang rendah merupakan salah satu atribusi individu berlaku
korup. Orang yang motivasi berprestasinya tinggi cenderung mengejar
kesempurnaan, dalam arti selalu mengupayakan yang terbaik, bukan kerja asal
jadi.*
Faktor dari luar diri termasuk faktor
budaya merupakan atribusi luar diri yang memudahkan individu berlaku korup.
Contohnya, pemberian upeti. Oknum tak berprinsip akan menerima upeti bahkan
memintanya. Mereka berpikir bahwa penerimaan upeti merupakan hal yang biasa dan
pantas mereka terima. Contoh lain ialah pertimbangan hukum yang berlaku,
perbandingan antara besaran uang yang dikorupsi dan besaran ganjarannya.
Apalagi dengan pertimbangan adanya remisi penahanan. Bukan mustahil, kurangnya
komunikasi yang baik pun dapat menjadi faktor terjadinya tindak korupsi.
Bagaimanakah
upaya pemberantasannya?
Sebagai negara berkembang, kalau bukan terbelakang, tidak ada salahnya kita mencari referensi hukum dari negara-negara tetangga bernasib serupa yang lebih maju. Mari kita tengok, negara pecahan Uni Soviet yang ber-ibukota Riga di Eropa Utara, Latvijas Republika. Sebelum tahun 1998, Latvia termasuk negara terkorup di dunia, namun kini ia menjadi negara bebas korupsi setelah berlakunya UU Lustrasi. Melalui UU Lustrasi, semua pihak yang korup, termasuk para pejabat petahana dan pejabat yang pernah memerintah sebelumnya dipecat dan tidak diizinkan menjabat lagi. Istilah yang lebih dikenal ialah pemotongan generasi korupsi. UU ini pernah diajukan menjadi RUU oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud M.D. sebelum kelengseran GusDur, namun tidak digubris pemerintah.
Ataukah kita harus seperti negara
China yang memberlakukan hukuman mati bagi para koruptor? Ya, hukuman mati.
Setiap oknum yang menjadi duri dalam daging ini pantas mati. Terorisme, bahkan
yang dilakukan secara gerilya pun tidak semenyakitkan duri dalam daging.
Terorisme dapat datang sewaktu – waktu dan segera menghabisi dan
meluluhlantahkan korban hingga pelaku. Terorisme menjadi isu besar sekelebat
waktu. Tidak demikian dengan duri dalam daging yang terus menyiksa kita
sepanjang waktu, membuat filsuf dan para ahli sakit kepala tiada henti.
Benarkah hukuman mati sudah tepat
untuk memangkas hama, gulma, ilalang, parasit bernama koruptor ini? Hukuman
mati berdampak memberikan efek jera, ya. Pertanyaannya, apalah yang kita dapat
dari orang yang sudah mati? Mortvi non mordant. Dead me not
bite, dead men tell no tale.
Bukankah kini kita negara demokrasi?
Negara yang menjunjung tinggi pancasila dan nilai – nilai kemanusiaan? Ataukah
demokrasi kita hanya sistem semu? Apakah ternyata kita secara praktik masih
kolot? Masih komunis? Masih otoriter? Masih terpusat?
Berdasarkan asas pancasila dan
penghormatan terhadap HAM, praktis kedua UU di atas tidak layak ditiru
menjadi hukum kita. Sekarang, mari kita arahkan pandangan kita ke negara
terdekat, Malaysia dan Brunei. Malaysia menghukum koruptor dengan menyita
hak milik. Di Brunei, berlaku hukuman denda sebesar 30.000 dollar Brunei
(sekitar 227 juta rupiah), sepuluh tahun kurungan dan kerja sosial. Demikian juga
Hongkong, koruptor dihukum penjara dan denda, serta penyitaan kekayaan. Negara
yang pernah menjajah kita 3,5 tahun, Belanda, menghukum tindak korupsi dengan
kerja sosial.**
Indonesia tidak sendiri. Banyak negara
baik yang masih berkembang seperti kita hingga negara-negara maju dan adidaya
pun bergumul dengan korupsi. UU yang dianggap melanggar HAM seperti UU lustrasi
Latvia dan UU Pemutihan di China, nyatanya berhasil memangkas tindak korup di
kedua negara tersebut. Malaysia, Brunei dan Belanda berhasil dengan hukum kerja
sosialnya. Hal ini menunjukkan bahwa hukum manapun baik adanya, terlepas dari
penghormatan terhadap perikemanusiaan. Lalu, manakah yang baik untuk kita
adaptasi menjadi hukum di negara kita?
Sesungguhnya, bukan hanya sistem yang berjasa menyukseskan penanganan korupsi. Kunci utamanya ialahkonsistensi, yang termasuk di dalamnya cipta, rasa, karsa dan karya. Cipta maksudnya pikiran jernih, rasa ialah hati tulus, karsa yaitu tekad bulat dan karya berarti mau bekerja keras.***
Sesungguhnya, bukan hanya sistem yang berjasa menyukseskan penanganan korupsi. Kunci utamanya ialahkonsistensi, yang termasuk di dalamnya cipta, rasa, karsa dan karya. Cipta maksudnya pikiran jernih, rasa ialah hati tulus, karsa yaitu tekad bulat dan karya berarti mau bekerja keras.***
Layaknya kebolongan lapisan ozon bumi kita,
korupsi tidak bisa ditambal oleh satu per sepuluh orang saja. Perlu
kesatu-paduan yang kukuh untuk memperbaikinya sehingga setiap kita dapat
bernafas lega.
Sulit itu bukan mustahil, Kawan!
*)http://ancok.staff.ugm.ac.id/main/wp-content/Korupsi.pdf
**)Sumber:
litbang “kompas”/ YOG, dari pemberitaan “Kompas” dan Koalisi Masyarakat
Pemantau Peradilan.
***)http://kalinyamat.mhsw.isi-ska.ac.id/latto-moga-u-chi-kawa-chi-cipta-rasa-karsa-dan-karya/
(SIL)
Posting Komentar