Oranye Fikom Untar Oranye Fikom Untar Author
Title: UNTAR “MEMBEDAH” AMOY SINGKAWANG
Author: Oranye Fikom Untar
Rating 5 of 5 Des:
Pernah dengar kata ‘amoy’? Kata tersebut menjadi fokus dalam novel terbaru Mya Ye berjudul Amoi yang dibedah dalam acara “Apresiasi Ragam Bu...
Pernah dengar kata ‘amoy’? Kata tersebut menjadi fokus dalam novel terbaru Mya Ye berjudul Amoi yang dibedah dalam acara “Apresiasi Ragam Budaya Indonesia” di Universitas Tarumanagara, Rabu (2/5).
Kata ‘amoy’ berasal dari bahasa Hakka yang artinya merujuk pada perempuan muda (keturunan) Tionghoa yang belum menikah. Para amoy ini memiliki kisah tersendiri di Singkawang, salah satu kota yang terletak di Provinsi Kalimantan Barat. Di sana, kita dapat jumpai fenomena pernikahan para gadis ini dengan pria luar negeri yang berasal dari Taiwan, Hongkong atau Malaysia. Dinikahkan dengan pria “luar” menjadi jalan bagi para amoy ini untuk mengangkat derajat ekonomi keluarga. Hal tersebut juga dianggap sebagai wujud bakti si anak gadis pada orang tuanya.

Mya yang juga dosen di Fakultas Ilmu Komunikasi UNTAR ini menuturkan bahwa dirinya tidak sengaja mendapatkan inspirasi untuk menulis Amoi. “Awalnya sih nggak sengaja, kebetulan waktu itu sekalian travelling ke Singkawang,” tutur Mia.

Bersama Mia, hadir pula Ketua Lembaga Penelitian dan Publikasi Ilmiah UNTAR, Ir. Jap Tji Beng dan Yoseph Adi Prasetyo (Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia). Yoseph Adi yang biasa disapa Stanley menuturkan fakta-fakta penting terkait fenomena amoy singkawang.

Menikahkan anak perempuan sebagai cara atasi kemiskinan sebenarnya tidak jauh berbeda dengan praktik perdagangan manusia, yang telah memiliki peraturan sendiri dalam protokol PBB.

“Negara belum memberi perlindungan bagi mereka.” ujar Stanley.

Minimnya pendidikan yang diterima para amoy ini juga menjadi masalah tersendiri. Para dara tersebut kebanyakan hanya mengenyam pendidikan pada jenjang sekolah dasar. Kebanyakan dari mereka putus sekolah karena lebih memilih pintu pernikahan untuk melepas keluarga mereka dari jerat kemiskinan.

Menanggapi hal tersebut, Jap Tji Beng berpendapat bahwa pendidikan adalah kunci penting untuk keluar dari kemiskinan.

“Pemerintah harus menyediakan pendidikan gratis bagi mereka,” kata Jap di penghujung acara bedah buku. (elm/eil-oranye)

About Author

Advertisement

Posting Komentar

 
Top