Oleh: Jesse Adam
Kemunafikan. Kata ini selalu mengganggu saya akhir-akhir ini. Entah mengapa, setiap sedang merenung atau sedang berpikir, selalu saja kata itu muncul hingga akhirnya terciptalah tulisan ini. Jadi, mohon maaf apa bila ada yang tersinggung atau merasa tidak sependapat dengan apa yang akan saya katakana lewat tulisan ini. Perbedaan itu wajar, bukan? hehehe..
Begini. Menurut saya, setiap orang pasti pernah terjebak dalam kemunafikan. Kemunafikan itu sendiri dapat berupa banyak hal. Ada kemunafikan yang jelas-jelas munafik, ada juga kemunafikan yang sekilas terkesan tidak munafik atau bahkan terkesan baik. Ini saya sebut sebagai kemunafikan terselubung. Pada akhirnya, yang membedakan orang adalah apakah mereka memutuskan keluar dari kemunafikan atau justru membiarkan dirinya terjebak dan menikmati kemunafikan tersebut.
Setiap orang itu (pernah) munafik, entah kemunafikan nyata atau terselubung. Saya tidak ingin bicara tentang orang-orang yang terjebak dalam kemunafikan nyata. Toh, kalau mereka tetap berada disana, itu berarti mereka sendiri yang memutuskan untuk tetep munafik, bukan ? Yang ingin saya bicarakan disini adalah sebuah kemunafikan yang lebih berbahaya. Sebuah kemunafikan dimana orang orang yang terjebak didalamnya tidak merasa munafik. Jadi, ini adalah sebuah kemunafikan yang terbungkus dalam kemunafikan lainnya, atau dapat juga dikatakan sebagai kemunafikan yang munafik.
Nah, kemunafikan jenis ini terdapat dalam banyak hal : kebiasaan, formalitas, keklisean cara berpikir, dll. Yang ingin saya bahas disini adalah sebuah kemunafikan yang terselubung dalam topeng “keadilan”. Bukan “keadilan” nya yang munafik, tapi orang-orangnya yang menjadikan “keadilan” sebagai sebuah topeng kemunafikan mereka.
Pertanyaan yang mendasarinya adalah, sebetulnya apa sih konsep dasar dari “keadilan” itu ? Menurut saya, keadilan pada dasarnya adalah kesesuaian proporsi. Maksudnya adalah, jika ada dua orang, katakanlah si A dengan si B, membuat usaha bersama. Si A menanamkan modal sebesar 70 %, sementara si B Cuma 30%, maka, adilnya, ketika ada keuntungan, si A berhak mendapatkan 70% dari keuntungan itu, dan si B dapat 30%, bukan ? Jadi, adil itu bukannya melulu 50%-50%. Disinilah kebanyakan orang salah kaprah.
Kembali lagi ke topic. Berapa banyak sih diantara kita yang pernah dengar seseorang bicara sepert ini : “Tuhan, Engkau, ya Tuhan, sungguh tak adil. Engkau hanya memberikan kesusahan demi kesusahan dalam hidupku,” dsb. Saya yakin sekali banyak diantara kita yang sering dengar orang bicara seperti itu terhadap Tuhan. Atau jangan-jangan kita sendiri juga sering bicara seperti itu ?
Biasanya, orang yang bicara seperti itu adalah orang yang hidupnya dirundung penderitaan. Padahal, bukankah memang seperti itulah hidup? Manusia tak akan selamanya menderita. Dalam perjalanan menuju sebuah kebahagiaan, ada proses-proses yang harus dilewati. Dan terkadang proses itu menyakitkan.
Nah, disinilah lucunya. Dengan logika yang sama, seharusnya orang tersebut juga mengeluh dan memaki-maki Tuhan dengan sebutan tidak adil ketika mereka sedang diberikan banyak kebahagiaan! Seharusnya mereka juga bicara seperti ini : “ Tuhan, engkau sungguh tak adil. Kenapa dalam hidupku ini selalu saja Engkau berikan kebahagiaan. Kapan Engkau akan memberikan kesedihan kepadaku ? “ Tapi pada kenyataannya, tidak ada orang mengeluhkan hal seperti itu.
Orang-orang menggunakan kata “keadilan” semata-mata sebagai sebuah senjata untuk membela keegoisan mereka. Mereka hanya menginginkan kebahagiaan. Jadi, bukan “keadilan” yang mereka cari. Nah, disanalah letak dimana kemunafikan itu terselubung.
Ketika dalam hidup kita lebih sering mendapatkan kesusahan daripada kebahagiaan, sesungguhnya hidup ini sudah cukup adil (kalau memang benar keadilanlah yang kita cari). Mengapa? Siapa yang berani berkata bahwa dalam hidupnya, dia telah lebih banyak berbuat baik darpiada berbuat kurang baik? Bila dipersentasikan, saya yakin kadar kebaikan kita tidak lebih besar dari kadar ketidak-baikan kita. Ketika kita melakukan perbuatan-perbuatan baik, adakah hal lain dibalik itu semua? Entah itu agar dilihat orang, pencitraan, atau demi menarik perhatian dari orang yang kita suka. Jadi, kalau kita lebih banyak menderita daripada bahagianya, hidup itu sudah cukup adil, bukan ?
Sekarang izinkan saya bicara tentang Tuhan secara universal, se-universal ketika kita bicara tentang Tuhan ketika kita mengkambinghitamkanNya atas penderitaan. Tuhan, secara universal, adalah sesosok Pribadi yang sangat sempurna: Baik, Kaya, Maha Memberi, Maha Mengampuni, dll.
Sekarang coba bayangkan. Tuhan yang begitu baik justru kita maki-maki demi ego kita. Gila segila-gilanya, kawan !! Bukankah ketika kita memaki-maki dan menghujat sosok pribadi yang sudah begitu baiknya kepada kita dengan sebutan tidak adil, justru di titik itulah kita yang sedang berbuat tidak adil??? Semoga kita bisa melepaskan dan mendobrak kemunafikan.
Posting Komentar