Cahyadi (Kiri) bersama 3 modelnya |
Satu
lagi karya
anak bangsa yang patut diapresiasi, batik bakau. Lahir dari tangan pemuda asal
Semarang Cahyadi A. Kurniawan (22 tahun), buah bakau yang busuk dipanennya
menjadi batik bernilai ekonomis tinggi.
Ditemui
dalam ajang tahunan Social Media Festival “Dare to Share” di FX Sudirman pada
12-13 Oktober 2013, Cahyadi lengkap dengan kostum batiknya, mengenalkan kepada pengunjung
akan salah satu manfaat ekonomis
yang dimiliki oleh mangrove. Berbekal ilmu kelautan dan
keterampilan memotif batik, pemuda yang juga tergabung dalam komunitas
sukarelawan mangrove (KeMANGTEER) ini
menuturkan bahwa batik bakau merupakan batik yang ramah lingkungan karena
berasal dari pewarna alami, yakni dari serasah propagul sehingga limbahnya
cenderung aman.
Uniknya,
batik bakau ini bukan saja warnanya yang dibuat dari bakau, motif yang
diukirkan juga menggambarkan mangrove
itu sendiri. Namun tahukah kalian bagaimana proses pembuatannya hingga menjadi
batik utuh?
Pewarna Alami
Nama
batik bakau diambil dari bahan dasar pewarna alam yang digunakan dalam proses
pembuatannya. Kecambah mangrove yang
bertebaran di pesisir pantai atau biasa disebut propagul dipungut Cahyadi dan
kawan-kawan sebagai bahan utamanya. Dalam pemilihannya, propagul yang diambil
harus benar-benar yang sudah jatuh dan tergeletak begitu saja di pesisir
pantai. Pasalnya, propagul merupakan bibit mangrove.
Dengan demikian, propagul yang jatuh terbenam ke lumpur, dibiarkan agar
bertumbuh. Sementara yang jatuhnya tidak sampai terbenam ke lumpur sehingga
terbawa arus pasang dan membusuk di daratan itulah yang boleh diambil menjadi
bahan dasar pewarna alam batik bakau.
Berawal
dari sistem trial and error alias
coba-coba, Cahyadi yang sempat berguru pada penggiat motif mangrove di Surabaya ini bereksperimen terhadap pelbagai jenis mangrove. 6 bulan berlalu, eksperimennya
pun membuahkan hasil. Mangrove jenis Apiculata, Mucronata dan Stylosa teruji mampu menghasilkan
pewarna alami yang baik untuk batik.
Proses
pengolahan bakau busuk menjadi pewarna alam terbilang mudah. Serasah propagul
dijemur selama 2-3 hari. Setelah kering, propagul dapat dimasukkan ke dalam
dandang berisi air mendidih. Proses perebusan dilakukan sekitar 4 jam.
Hasilnya, saat dandang dibuka terhirup aroma jamu yang cukup kuat.
Kendala
baru terjadi ketika menyocokkan warna tersebut ke dalam batik. “Karena yang
digunakan pewarna alami bukan pewarna tekstil, warna yang dihasilkan tidak bisa
sama persis,” jelasnya. Selain itu, demi mendapatkan warna yang diinginkan,
batik tersebut harus dicelup 5 sampai 6 kali. Dicelup pun tidak langsung celup.
Celup sekali, keringkan. Setelah kering, celup lagi, kemudian dijemur.
Celup-jemur, celup-jemur, begitu seterusnya hingga memperoleh warna yang
diinginkan.
“Sekilo
propagul lebih kurang dapat mencetak 5 lembar batik berukuran 2m x 1,5m,”
terang Cahyadi.
Saat
ditanya mengenai takaran pastinya,
Cahyadi menjawab ragu-ragu, “waduh, enggak pernah saya ukur sih. Cuma memang
ada ember dan dandang khususnya. Sekilo propagul bisa menghabiskan 3 ember
air.”
“Ya,
kira-kira seginilah embernya,” tambah Cahyadi sambil mengira-ngira dengan kedua
tangannya ukuran ember tersebut. Ukurannya sedang namun sayang tidak dapat
dipastikan.
Hingga
kini, pembuatan batik bakau ini masih mengandalkan tenaga pengrajin di Kampung
Batik Semarang. Bersama 10 orang lain dalam timnya, Cahyadi memotif batik bakau
tersebut di Semarang baru kemudian diimpor ke Jakarta melalui KeMANGTEER.
“Sejauh
ini produksi batik bakau ini masih ditangani oleh KeMANGTEER di Semarang. Di Jakarta
peralatannya masih kurang memadai. Ditambah lagi, spesies mangrove yang ada di Jakarta masih kurang variatif,“ ungkap Reza
Ramadhan, wakil ketua KeMANGTEER Jakarta periode 2013/2014.
Setelah
menekuni batik bakau ini selama 2 tahun, Cahyadi masih terus bereksperimen.
Warna yang dihasilkan bakau kini masih terbatas pada warna coklat hingga hitam.
Guna mendapatkan warna-warna alam lain dari bakau, Cahyadi dan kawan-kawan
bertekad untuk terus menggali potensi bakau di Indonesia.
Dengan
adanya batik bakau ini, Cahyadi selaku pelopor batik bakau berharap animo
masyarakat akan batik alam lebih tinggi. “Yang dinamakan batik bukan motifnya
tapi batiknya.”
Fantastis
Minggu
siang, 13 Oktober 2013, batik bakau dipamerkan di atas catwalk. Para model berlenggak-lenggok memperkenalkan batik bakau
rancangan Cahyadi. Hilir mudik, batik legenda, batik tulis dan batik cap
melenggang memukau para pengunjung.
Cahyadi
mengakui, biasanya batik bakau ini menjadi sabetan kolektor-kolektor batik.
Oleh karena itulah, harga yang dibanderol terbilang fantastis untuk ukuran kocek mahasiswa. Batik cap ukuran 2m x
1,5 m misalnya, diusung seharga minimal Rp. 250.000,00; batik tulis sekitar Rp.
4.000.000, 00 dan batik legenda seharga lebih dari Rp. 5.000.000,00.
Wow,
tertarik untuk membeli?
Sebuah tulisan dari kontributor kami, Silviana Dharma.
Posting Komentar