Tanpa keluh kesah bocah SD ini bekerja
sebagai joki kuda wisata setiap pulang sekolah hingga petang menjelang. Sebut
saja Angga, anak yang kini berusia 12 tahun itu sudah mencari nafkah sejak
duduk dikelas 1 SD. Setiap hari selepas sekolah, Angga membawa
kudanya untuk berkeliling disekitar
villa Cimacan, Puncak Bogor.
Kuda yang biasa menemaninya bukanlah miliknya sendiri. Ia harus berjalan sejauh tiga kilometer untuk meminjam kuda tersebut. Diusianya yang masih tergolong anak – anak,ia mampu menunggang kuda dengan mahir. Menurutnya, kuda tersebut sudah jinak dan mengenalnya dengan baik.
Kuda yang biasa menemaninya bukanlah miliknya sendiri. Ia harus berjalan sejauh tiga kilometer untuk meminjam kuda tersebut. Diusianya yang masih tergolong anak – anak,ia mampu menunggang kuda dengan mahir. Menurutnya, kuda tersebut sudah jinak dan mengenalnya dengan baik.
Angga
hanya mematok tarif sebesar Rp 20.000,- bagi pelanggan yang ingin menunggangi
kuda yang olehnya diberi nama Isabella itu. Selama 30 menit ia membawa
pelanggannya berkeliling
dikebun teh Puncak dengan pemandangan yang indah dan udara
yang sejuk. Biasanya dalam sehari ia mendapatkan 2 orang pelanggan, namun terkadang ia tidak
mendapatkan pelanggan sama sekali. Jika tidak mendapatkan pelanggan, ia harus
pulang dengan tangan kosong. Walaupun demikian ia tetap bersyukur dan berharap esok
hari akan mendapatkan rezeki yang lebih baik lagi.
Selama empat tahun
menjadi joki kuda wisata, resiko tidak pernah lepas dari pekerjaannya. Karena postur
tubuhnya yang kecil, Ia pernah digigit bahkan diinjak oleh kuda yang menjadi
mata pencahariannya itu. “Ya gak apa – apa, paling hanya
diusap – usap saja,” kata Angga. Rasa sakit ataupun lelah yang Ia dapat terbayarkan ketika berhasil membawa
sejumlah uang untuk diserahkan kepada ibunya selepas senja.
Angga adalah anak ke empat
dari 5 bersaudara. Ditengah kesulitan ekonomi keluarga, ia membantu mencari nafkah
semampunya. Pendapatan ayah yang bekerja sebagai kuli bangungan dan Ibu sebagai
penyabit rumput divilla tidak pernah mencukupi biaya kehidupan sehari – hari
mereka. Kakak – kakaknya sudah tidak lagi bersekolah. Hanya Angga dan seorang
adiknya bernama Rini yang masih bersekolah di kelas 5 SD.
Ipang, kakak sulung Angga, hanya bekerja membantu ibunya
sebagai penyabit rumput. Sedangkan kedua kakak perempuannya Tia dan Santri
membantu memasak dan mencuci dirumah. Adik bungsu, Rini tidaklah bekerja.
Angga tidak pernah merasa iri hati ketika melihat teman –
temannya bermain sepulang sekolah. Seringkali ia hanya bisa menelan ludah dan
mengusap dada ketika melihat teman – temannya membeli jajanan tetapi ia tidak
bisa. Ia harus bekerja dan mencari uang. Seluruh uang hasil menjadi joki kuda
wisata ia serahkan kepada ibunya. “Uangnya saya kasih Ibu buat beli makan
sehari – hari, buat biaya sekolah saya sama adik juga,” ujarnya
dengan lapang dada.
Walaupun keluarganya mengalami kesulitan ekonomi, Angga
tidak pernah berpikir untuk meninggalkan bangku sekolah. Ia tetap menyempatkan diri untuk belajar dengan giat pada
malam hari sepulang bekerja. Berharap, kehidupan keluarganya akan
menjadi lebih baik.
Kedua orangtua dan adiknya menjadi motivasi utamanya
utuk terus giat belajar dan bekerja. Ia tidak ingin putus sekolah seperti ketiga kakaknya.
Ia juga berharap adik bungsunya dapat terus melanjutkan pendidikan. Semangat
inilah yang membuat Angga tetap ceria menjalankan pekerjaan
sehari – harinya sebagai joki kuda wisata.
Nasib Angga hanyalah sebuah potret kehidupan dari anak – anak “perkasa” lain yang mencari nafkah demi membantu kebutuhan ekonomi keluarganya. Cara berpikir yang jauh lebih dewasa
dibandingkan umur mereka dapat menjadi pembelajaran bagi kita semua. Keinginan
mereka untuk bermain tidaklah berbeda dari anak-anak yang lain, hanya saja nasib belum mengijinkan. Semoga kisah hidup si
anak kuda dapat menjadi inspirasi bagi kita semua untuk mengejar cita-cita.(fic)
Posting Komentar