Keringat bercucuran di wajah
keriputnya, terik matahari tak menghalangi semangat untuk melaksanakan
tugasnya. Semua itu tak digubrisnya, Tangannya
masih dengan kuat menggenggam senjata andalan.
Sreekk..sreekk..sreekk… suara terdengar diantara
suara-suara kendaraan yang berlalu lalang pada Sabtu siang 28 September 2013. Tampak
dua wanita tua di bilangan jalan Proklamasi, Kota Tangerang tengah sibuk dengan
‘senjatanya’, sapu lidi dan pengki. Minah (58 tahun) dan Sumi (54 tahun)
merupakan salah satu dari petugas pembersih dan penyapu jalan yang ditugaskan
oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Tangerang. Dengan topi mandor bangunan, mereka berdua
bertugas untuk menyapu jalanan.
Jam sudah menunjukkan pukul 12.00, dengan
seragam kebesaran mereka yang berwarna oranye, mereka beristirahat sejenak dengan duduk di
trotoar sembari minum air di tengah panasnya cuaca pada hari itu.
Air mineral dalam botol besar pun sudah
cukup untuk menghilangkan dahaga mereka. Minah membuka bungkusan pada kantong
kresek hitam, sedangkan Sumi masih asyik mengelap keringatnya. Dikeluarkannya
dua nasi bungkus yang menjadi jatah mereka untuk makan siang.
Sebungkus nasi yang berisi lauk tahu
tempe dengan sayur toge pun dilahap mereka dengan segera. Tanpa menghiraukan debu
yang berterbangan serta asap kendaaraan yang lewat, mereka begitu asyik menyantap
nasi bungkus.
Makan siang pun selesai, mereka saling
bercengkrama. Membicarakan keluh kesah mereka setelah bekerja dari pukul 7.30
pagi. “Kadang iri liat orang laen udah tua tapi mereka idup nya seneng, gak
kaya kita masih kerja di jalanan gini”, keluh Ibu Minah. Sumi menyambung, “ Ya
namanya juga kita orang susah, kalo gak gini kita mau makan apa”.
Minah yang merupakan ibu dari dua orang
anak itu terpaksa bekerja sebagai penyapu jalan raya. Karena suaminya sudah
lumpuh dan tidak bisa bekerja untuk mencari nafkah. Anak-anak Minah sudah
berkeluarga, tapi nasib mereka pun sama hanya bekerja sebagai buruh pabrik.
Penghasilan mereka hanya cukup untuk member makan keluarganya masing-masing. Lalu
bagaimana Minah bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari dan obat untuk suaminya
jika ia tidak bekerja?
Tak jauh berbeda dengan Minah, Sumi yang
sama-sama tinggal di kawasan belakang Rumah Sakit Sitanala pun menjadi tulang
punggung keluarga. Demi memenuhi kebutuhannya sendiri dan tiga orang anaknya
yang masih bersekolah,,ia harus bekerja menjadi penyapu jalan raya. Setelah
ditinggal suami yang meninggal dua tahun lalu, Sumi bingung bagaimana dia
membayar uang kontrakan dan biaya sekolah anak-anaknya.
Ketika disinggung masalah gaji atau upah
yang didapat, mereka hanya tersenyum tanpa arti. “Ya asal cukup buat makan sama
sekolah anak-anak aja”, celetuk Sumi. Minah menambahkan “Tapi emang enak sih
kadang kita dijemput sama mobil bak DKP, nanti pulang juga kita dianter sampe
rumah”.
Dengan mata yang sayu menandakan
kelelahan, mereka sudah mulai bersiap-siap melanjutkan tugasnya. Karena masih
sekitar 100 meter lagi jalanan yang belum disapu. Jam kerja mereka yang begitu
lama sekitar 9 jam per hari kadang membuat mereka merasa begitu kelelahan, tapi
apa mau dikata itu sudah menjadi pekerjaan mereka untuk merias kota dengan membuatnya terlihat rapi dan bersih.
Tak hanya mengeluh lelah, Sumi dan Minah
pun kadang kesal melihat ulah pengandara maupun para pejalan kaki yang membuang
sampah sembarang. Perasaan tak dihargaipun muncul dengan semakin banyaknya para
pembuang sampah sembarangan. “Kalo sampah-sampah daun kering sih itu wajar yah
karena mungkin kena angin, tapi kalo botol, plastik-plastik itu kan bikin
jalanan kotor dan gak bagus buat dilihat” curhat Minah.
Dengan melihat banyaknya sampah botol
dan plastik yang berserakan, mereka berinisiatif untuk mengumpulkan dan menjual
sampah tersebut kepada pengepul plastik “Lumayan lah kan buat tambahan”, kata
Minah sambil tersenyum. Makanya sekarang apabila mereka dinas sebagai perias
kota, maka akan ada satu teman yang menemani, yaitu karung kesayangan. Karung tersebut
dipakai sebagai wadah sampah botol dan plastik.
Sisi lain jalan Proklamasi merupakan
pusat pendidikan Kota Tangerang, maka tidak heran bila terdapat banyak sekolah
baik tingkat SMP maupun SMA. Hal inilah yang menjadi pekerjaan berat bagi Minah
dan Sumi karena anak-anak sekolah yang berpendidikan lebih tinggi daripada
mereka justru suka seenaknya membuang sampah dan tidak memelihara lingkungan. Sumi
berujar, “Kadang malah ada yang saya tegor anak-anak kalo buang sampah di
jalanan”.
Mereka berani menegur orang yang buang sampah sembarangan, karena sebenarnya
keindahan dan kebersihan kota merupakan tanggung jawab semua orang.
Meskipun terkadang hati kesal, dan lelah
terasa oleh mereka berdua tetapi dengan tulus Minah dan Sumi melaksanakan
tugasnya sebagai perias kota.
Mari kita hias, rias, dan rawat
lingkungan kota tercinta! Bukan hanya “si seragam Oranye” yang bisa jadi perias
kota, tapi kita semua juga bisa. Karena merias kota dimulai dari merias diri
sendiri dengan sikap dan perilaku yang baik. Terima kasih Perias Kotaku, si
seragam oranye.
(Apr.)
Posting Komentar