Epul bersama sepatu-sepatunya |
Walaupun begitu, gerobak bertuliskan “SOL SEPATU” berwarna merah milik Epul ini masih menunggu dilirik pelanggan. Sepatu-sepatu yang dipamerkan di gerobak mungil itu rata-rata adalah sepatu pantofel khusus laki-laki. Tak cukup dengan gerobak itu, Epul menaruh beberapa koleksi sepatunya di sebuah tempat yang terbuat dari kayu yang dijejerkan dengan rapi di samping kanan gerobaknya, hanya saja tempat itu lebih pendek dari gerobaknya—mirip dengklek. Walaupun sepatu-sepatu telah ditata dengan cukup rapi, namun orang-orang yang melalui jalan besar Perumahan Kalideres Permai tak begitu tertarik dengan pameran sepatu itu.
Pemuda berumur 21 tahun tersebut
telah mengabdikan diri di bidang ini sejak tiga tahun yang lalu. Dulunya, ia mangkal
di Cengkareng. Namun, jasa sol dan jual beli sepatu itu tak berumur lebih dari setahun. Sebab, mendapat
teguran dari Satpol PP, maka ia memutuskan untuk menjajakan jasanya di kompleks
perumahan Kalideres yang tak jauh dari tempat tinggalnya yang berada di Gang
Waru, perumahan Bulak Teko.
Pemuda berkulit sawo matang yang
berasal dari Bandung ini mengaku tidak percaya diri untuk bekerja di tempat kelahirannya itu,
maka ia memilih untuk mencari nafkah di Jakarta. Dari niat itulah akhirnya ia
bekerja sebagai buruh di sebuah parbrik sepatu di kawasan Kosambi, Jakarta
Barat. Namun, rupanya ia pun kurang puas dengan pekerjaan itu sehingga
memutuskan untuk keluar.
“Pengen mandiri aja,” jawabnya
dengan senyum kecil ketika ditanya mengapa dirinya memilih untuk bekerja di
bidang ini.
Anak keempat dari lima bersaudara
itu pernah menjajakan jasa dan sepatunya dengan berkeliling di sekitar
perumahan Daan Mogot, perumahan Citra 1 dan 2. Namun, ia ingin mencari
perubahan. Ia lalu membuat gebrakan baru dalam hidupnya, menjual jasa menggunakan
gerobak putihnya itu.
Masalah laba, ia merasa tak jauh
beda dengan usaha keliling yang pernah ia jalani selama setahun itu. "Kira-kira sama aja sih,” jawabnya
sambil menunduk ke tanah. “Sehari bisa lima puluh ribu rupiah, tapi kadang juga
nggak ada,”
Maka tak heran, ia menghentikan jasa
kelilingnya, kemudian memulai untuk membawa gerobak kecil yang memakan sewa
lima puluh ribu rupiah per bulan. “Uangnya diserahkan ke keamanan sini.”
Gerobak sepatu itu biasanya
menampilkan diri pada pukul 08.00 WIB hingga 18.00 WIB. Kebanyakan pelanggannya
berasal dari perumahan Daan Mogot.
“Ada sih (dari Bulak Teko), tapi
jarang. Soalnya ada saingannya.” katanya seraya memilin-milin barang di sekitar,
menutupi rasa gugupnya.
Pemuda lulusan SMP ini mengatakan,
dirinya tidak puas dengan keadaannya sekarang, tetapi hanya ini keahliannya
sehingga mau tak mau ia pun menjalaninya. Mimpinya, ia ingin memiliki kios
kecil yang bisa memperkerjakan orang-orang. Sederhana. Namun, semangat itu
tergambar dari wajahnya yang berbinar-binar.
Pernahkah pemerintah benar-benar
serius memperbaiki masalah pendidikan? Buktinya, Epul tak bisa melanjutkan
pendidikan ke bangku SMA lantaran kekurangan biaya. Ini adalah gambaran kecil
dari masyarakat marginal. Kecil. Namun, semangatnya tinggi. Pernahkah Anda
membayangkan seorang seperti Epul akan mempunyai kios yang cabangnya berada di
kota-kota besar di Indonesia? Ataukah hanya mimpi di siang bolong saja?
Mungkin.(oliv)
Posting Komentar