Euforia perekonomian Indonesia kian membahana. Pertumbuhan
perekonomian Indonesia bahkan menempati urutan kedua terbaik di antara
negara-negara G-20. Tapi bukan berarti kemiskinan sudah lenyap dari bumi ibu
pertiwi. Lihat saja Mpok Ipong, seorang janda beranak dua yang tinggal di Kecamatan
Sepatan, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Mpok Ipong tinggal di rumah beralaskan
tanah berlumut dan beratapkan genting yang tak mampu lagi menadah air hujan. Dengan
kondisi seperti itu, Mpok Ipong seringkali harus tidur bersama tetesan air
hujan yang membasahi rumahnya.
Sejak suaminya meninggal, kehidupan Mpok Ipong berubah
total. Dia harus merelakan rumah dan tanahnya untuk biaya pemakaman sang suami.
Belum lagi kondisi kejiwaan Azis, anak sulung Mpok Ipong yang menurun akibat kehilangan
sosok ayahnya. Jika Azis sedang kumat dia
bisa menghilang dari rumah hingga berhari-hari.
Sekarang, Mpok Ipong hanya mengandalkan kerja serabutan
untuk membiayai urusan perut. Salah satunya adalah menanam padi di lahan milik
orang lain. Untuk pekerjaannya ini, Mpok Ipong diupah Rp 15.000,- sehari. Terkadang
Mpok Ipong mendapat bantuan beras dari tetangga sekitar. Tetapi jika sedang
tidak ada, Mpok Ipong harus pasrah dengan keadaannya.
Mpok Ipong hanya satu dari 28 juta orang (data BPS Maret
2013) yang masih menyandang gelar miskin. Ironisnya, pemerintah seolah tutup
mata dengan kondisi rakyatnya. Pemerintah seolah terlena dengan status negara
dengan perekonomian terbaik dan melupakan janji menyediakan pekerjaan yang
layak bagi warga negaranya. Ketimpangan semakin nyata terlihat ketika sang
gubernur memuaskan hobi shopping-nya
hingga milyaran. Nominal yang bahkan tak pernah terlintas dalam benak Mpok
Ipong.(wil)
Posting Komentar