Oranye Fikom Untar Oranye Fikom Untar Author
Title: Mahasiswa Jangan Takut Jadi Wartawan!
Author: Oranye Fikom Untar
Rating 5 of 5 Des:
Diskusi Buku " Uninhibited, Robust, and Wide-Open: A Free Press for a New Century" Jakarta, 12 Maret 2010.Bertempat di Grand Ball...
Diskusi Buku "Uninhibited, Robust, and Wide-Open: A Free Press for a New Century"

Jakarta, 12 Maret 2010.Bertempat di Grand Ballroom A, Hotel Aryaduta beberapa mahasiswa Fikom Untar menghadiri sebuah diskusi buku yang diselenggarakan oleh Toko Buku Times Indonesia, bekerja sama dengan Universitas Pelita Harapan (UPH), The Jakarta Globe dan Matahari Group yang bertajuk "Uninhibited, Robust, and Wide-Open: A Free Press for a New Century" oleh Lee. C. Bollinger. Diskusi ini dihadiri para jurnalis dari berbagai media,  tamu undangan khusus dan mahasiswa. Mahasiswa Fikom Untar yang hadir antara lain Petricia Yuvita, Rudy, dan Chrestella.


Bollinger seorang ahli hukum, sekarang menjadi rektor Universitas Columbia, Amerika Serikat. Bollinger mengemukakan beberapa hal yang diperlukan demi kemajuan media pers pada abad 21. Hal ini dikaitkan dengan kemajuan teknologi yang demikian pesat serta globalisasi yang terjadi.

Adapun yang hadir sebagai panelis untuk membahas buku ini antara lain: Endy Bayuni, Pemimpin Redaksi Jakarta Post; Ezki Suyanto, Perwakilan dari Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI); Andreas Harsono, Ketua Yayasan Pantau; Lin Neumann, Penasihat Redaksi Jakarta Globe; serta John Riady, Redaktur Lepas Globe Asia dan dosen Fakultas Hukum Pelita Harapan (UPH). Acara ini dimoderatori oleh Prof. Dr. Tjipta Lesmana, dekan Fakultas Ilmu Komunikasi UPH.

Diskusi dilakukan dalam dwi bahasa, bahasa Inggris dan Indonesia. Namun bahasa Indonesia sangat sedikit dipergunakan. Satu per satu panelis mengupas buku ini dari berbagai sisi, dikaitkan dengan kondisi di Indonesia saat ini.

Diawali oleh Endy Bayuni, yang menekankan bahwa di jaman teknologi seperti ini diperlukan adanya kesadaran; baik dari jurnalis maupun masyarakat untuk tidak dimanfaatkan oleh globalisasi yang terjadi serta tetap maju memperjuangkan kebebasan pers. Dia melihat betapa dunia pers saat ini seolah 'dianiaya' oleh pemerintah maupun hukum yang berlaku. Seringkali sensor yang dilakukan oleh pemerintah malah berakibat merugikan.

Dilanjutkan oleh Ezki Suyanto, dirinya menekankan bahwa baik AJI maupun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) merasakan bahwa undang-undang di Indonesia membahayakan para jurnalis, seperti UU ITE, UU Pornografi, maupun yang masih berupa rancangan undang-undang. Banyak juga kekerasan yang menimpa para jurnalis, ada yang dibunuh dan disiksa. Selain itu, dirinya menyampaikan, dilema mengenai jurnalisme blog pun turut diungkap dalam buku ini.

Hal lain disampaikan Andreas Harsono, makin bermutu jurnalisme suatu negara makan makin bermutu masyarakatnya. Dia juga memaparkan perbedaan antara undang-undang mengenai media di Amerika dan di Indonesia. Bahwa di Amerika ada perlindungan dari pemerintah terhadap media maupun bisnisnya, hal ini disebut sebagai Constitutional Cocoon. Jadi, perusahaan maupun medianya bak kepompong, terlindungi oleh konstitusi. Poin terakhir yang disampaikan Andreas menyinggung kebebasan berekspresi dan pers di Amerika yang dibandingkan dengan pasal 28F UUD 1945, yang dalam pasal tersebut tidak disebutkan secara spesifik mengenai pers.

Lin Neumann  menyampaikan kebebasan pers dalam masyarakat global. Bahwa bukan hanya para jurnalis, namun masyarakat pun harus tahu apa yang salah dan benar tentang perlakuan pemerintah terhadap dunia pers. Neumann yang sudah banyak makan asam garam dalam dunia pers di Asia, dari China sampai Thailand mengatakan bahwa setiap negara memiliki kebebasan pers namun situasi dan kendala yang dihadapi berbeda di setiap negara. Seperti pers di Thailand yang kerap dimanfaatkan oleh para politisi, atau para insan pers di Filipina yang rentan terhadap kekerasan. Sedangkan menurutnya, kebebasan pers di Indonesia sangat besar namun perlu kehati-hatian ekstra dalam menuliskan hal-hal terkait isu SARA.

Panelis terakhir, John Riady menyampaikan beberapa poin untuk mewujudkan pers yang bebas, kokoh dan terbuka seperti judul buku Bollinger. Pertama, mekanisme mengenai sanksi perdagangan serta hak asasi yang dipengaruhi oleh badan legislatif maupun yudikatif. Kedua, bagi para jurnalis dalam menggunakan data-data terkait kepentingan publik harus mampu membuktikan keabsahan data tersebut. Jadi pers tidak hanya bebas, tapi bertanggung jawab tanpa melupakan hak privasi dan informasi. Ketiga, memajukan pendidikan dalam bidang jurnalisme sehingga menghasilkan jurnalis yang terdidik dan kompeten.

Dalam sesi tanya jawab, banyak pertanyaan yang berhubungan dengan intervensi bisnis media terhadap bagian redaksional. Independensi isi media yang hadir, yakni The Jakarta Globe dan The Jakarta Post pun diuji. Satu poin penting yang diungkapkan Andreas Harsono dalam sesi ini, bahwa media di Indonesia dari Sabang sampai Merauke dimonopoli oleh konglomerasi media dari Jakarta dan Surabaya. Berita-berita lokal di luar Jawa seringkali terabaikan oleh isu-isu yang dianggap berita oleh media di Pulau Jawa.

Selain itu, poin penting lain diungkapkan Endy Bayuni mengenai buku ini, tertulis  bahwa setiap orang dapat turut serta membantu kebebasan pers. Bukan hanya jurnalis saja, tetapi semua orang, termasuk kita sebagai mahasiswa. Rudy, mahasiswa Fikom Untar menjadi penanya yang mengomentari hal ini dan menjadi sorotan hangat bagi panelis dan pembicara. Mari bantu tegakkan pers yang bebas tapi bertanggung jawab! (Chrestella).

About Author

Advertisement

Posting Komentar

 
Top