Oranye Fikom Untar Oranye Fikom Untar Author
Title: Yang Ketujuh: Belajar Demokrasi dari Wong Cilik
Author: Oranye Fikom Untar
Rating 5 of 5 Des:
"Yang namanya legislatif, DPR kalau normal ini hanya 5 tahun. Tidak selamanya jadi pemerintah, tidak selamanya jadi DPR, yang lama ...
"Yang namanya legislatif, DPR kalau normal ini hanya 5 tahun. Tidak selamanya jadi pemerintah, tidak selamanya jadi DPR, yang lama itu jadi rakyat," ujar Amin Jalalen, petani dalam film dokumenter "Yang Ketujuh".
Wakil masyarakat dalam film dokumenter "Yang Ketujuh"
diundang naik ke atas panggung pada Gala Premiere di
Studio 1 XX1 Epicentrum, Jakarta Selatan.
Setelah tayang perdana di Taman Fatahillah, kawasan Kota Tua, Jakarta Barat pada Sabtu malam, 16 Agustus 2014, film dokumenter karya Watchdoc "Yang Ketujuh" kini tayang di bioskop. Gala Premiere "Yang Ketujuh" di Studio 1 XXI Epicentrum, Jakarta Selatan (20/9) ini dihadiri sejumlah tokoh ternama seperti Riri Reza, Mira Lesmana, Arswendo Atmowiloto, pun para narasumber dalam film dokumenter ini didatangkan sebagai wujud terima kasih Watchdoc.

"Yang Ketujuh" mengangkat isu pemilihan presiden 2014 yang digadang-gadang sebagai pemilu paling fenomenal di Indonesia sejauh ini. Berbeda dari media-media mainstream yang ada, film dokumenter yang disutradarai Dandhy Dwi Laksono ini menampilkan fenomena pilpres 2014 dari sudut pandang masyarakat biasa, dengan kata lain dari sudut pandang pemilih. Tukang cuci, petani, warga dan ketua RT disorot sebagai tokoh utama yang mewakili dialog "wong cilik" soal demokrasi.

Seperti yang diungkapkan Produser Eksekutif "Yang Ketujuh" Andhy Panca Kurniawan, "Pemilihan presiden sebetulnya bukan lagi dari kacamata para calon. Tapi sebetulnya dari bagaimana sih masyarakat berharap perubahan. Tapi momentumnya pemilu."

Menarik, ketika terdokumentasi percakapan warga Menteng yang hendak menaikkan proposal perbaikan kali Menteng ke Jokowi namun di lain scene mengaku sebagai pendukung Prabowo.


"Itulah yang terjadi di masyarakat. Sebetulnya inikan momentum bagaimana masyarakat mau berubah, mau berharap dari hiruk pikuk demokrasi ini. Mereka ingin sebetulnya jadi pemain bukan penonton. Kalau saya memilih mudah-mudahan nasib saya berubah dan lain-lain."ujar Panca.

Mengenai hasil pemilu, salah seorang pemain yang mendukung Prabowo dalam film ini, Nita yang berprofesi sebagai tukang cuci menyatakan, "Ya itu mah bukan jodohnya, terserah deh itu mah. Yang penting kita sama rakyat kecil peduli, sama rakyat membantu lah."

"Yang terpenting dari film ini adalah perkelahian elit kan enggak selesai sampai sekarang, tapi diajarkan sebetulnya melalui film ini bahwa mereka (masyarakat menganggap) selesai. Masyarakat  bisa menerima. Justru demokrasi itu berjalan di grass root, bukan di tingkat elit." jelas Panca Kurniawan.

Film dokumenter yang akan diputar serentak di bioskop komersil tanah air, antara lain di Jakarta, Tangerang, Bekasi, Makassar, Yogya, dan Solo pada 25 September 2014 ini diakui Riri Riza sangat menarik. "Saya sih melihat dari awal bagus. Tentu saja karena ini momen yang sangat bersejarah dan penting. Film ini dengan kekuatan dokumentasi yang ada sangat dilligent mendokumentasikan banyak momen."

Tolok ukur keberhasilan film ini menurut Dandhy, yakni kehidupan para pemainnya berubah karena ada kebijakan publik yang diproduksi yang berpihak pada mereka, kemudian bisa menumbuhkan kesadaran politik bahwa mereka berhak memilih dan bersuara. Keberhasilan ketiga kalau media juga memperlakukan berita politik seperti watchdoc memproduksi isu tersebut melalui "Yang Ketujuh". 

"Tanpa itu, ya film ini hanya jadi rame-ramean saja." terang Dandhy.

Penulis : Silviana Dharma

About Author

Advertisement

Posting Komentar

 
Top