Kala senja datang, muncullah sang bulan menghiasi malam yang begitu benderang, disertai dengan deru ombak pantai di desa Kaharepan. Terasa sunyi, sepi dan hening tanpa adanya huru-hara kendaraan yang biasa bising terdengar seperti di kota.
Kenyamanan dan ketenangan dalam relung hati, bagaikan padang rumput savana diikuti semilir angin sepoi-sepoi, merasakan betapa nikmatnya arti mengenai seluruh kehidupan ini. Bila ditinjau kasat mata, panoramanya terlihat biasa saja, berupa hamparan pasir putih juga jajaran pohon kelapa.
Namun, hal tersebut terusik oleh adanya aliran gelombang tinggi yang pecah mencapai ranah pantai. Terdengarlah kepengangan pada telinga karena gelombang suara sirine yang merupakan alat peringatan akan adanya ombak tsunami.
Hingar bingar semakin menjadi ketika seorang warga berteriak “Awas ada tsunami, cepat lari kebukit!” Terpikir oleh Ujang, sang pemuda berperawakan sedang memiliki rawut wajah ‘kasep’ panggilan tampan untuk daerah tersebut, “Tsunami? Ga percaya akh ada tsunami!” kata Ujang. “Paling juga cuma gelombang pasang biasa aja, alatnya pasti eror lagi,” lanjut Ujang.
Dengan nada dan sikap optimis, Ujang ingin melihat dengan mata kepala sendiri apakah benar mau ada tsunami? Sempat bertanya-tanya dalam hatinya yang tidak percaya begitu saja, padahal sempat terlintas ketakutan dalam dirinya melihat seluruh warga kelimpangan serta panik akan bunyi dentuman dari laut.
“Mau kemana kamu, Jang? Jangan pergi ke pantai!” ujar Ambu, panggilan untuk ibu di desa itu. “Ayo kita selamatkan diri, jangan coba untuk pergi kesana Jang! Percaya sama Ambu bakal bahaya” lirih Ambu kepada Ujang supaya tidak ke pantai. “Ambu jangan khawatir sama Ujang, Ujang ga akan kenapa-kenapa,” balas Ujang. “Biasanya juga alaramnya suka rusak sama eror, biasa Ambu sering dengar sama orang-orang,” lanjut Ujang meyakinkan Ambu.
Berlalu saja Ujang dari hadapan sang ibu yang sangat menghawatirkan keselamatan nyawa anaknya. Ambu hanya berharap semoga yang dituturkan sang anak benar adanya. Ambu pun pergi dari rumahnya untuk menyelamatkan diri beserta dengan warga lainnya.
Akan tetapi, setelah seribu langkah Ambu mendengar dentuman keras dari pantai seperti air terjun menimpa tebing dibawahnya. Dhuaaarrrr. Pupus sudah harapan Ambu terhadap Ujang, anak semata wayangnya. Setelah kejadian, Ujang tak terlihat batang hidungnya lagi hingga saat ini. Hilang bagaikan ditelan bumi.
Desa Kaharepan pun terlihat luluh lantak bagaikan kapal pecah. Tak tersisa sedikit pun harapan berbinar dari seluruh warga setempat, apalagi Ambu yang terus berlinangan air mata tak berdaya mengingat anaknya menghilang tanpa pamit. (Riza Firdaus-Oranye-Fikom Untar)
Posting Komentar