Oranye Fikom Untar Oranye Fikom Untar Author
Title: Antagonisme Profesionalitas Jurnalis
Author: Oranye Fikom Untar
Rating 5 of 5 Des:
Sumber : www.femina.co.id Dalam teorinya, jurnalistik selalu mengajarkan bahwa wartawan wajib mewartakan kebenaran bagi masyarakat. Sun...
Sumber : www.femina.co.id
Dalam teorinya, jurnalistik selalu mengajarkan bahwa wartawan wajib mewartakan kebenaran bagi masyarakat. Sungguh hal yang mulia untuk direalisasikan. Pewarta kebenaran yang terdengar bak injili. Diajarkan juga bahwa wartawan harus mengolah beritanya secara objektif. Bagaimanakah kebenaran objektif yang hakiki itu? Dan apakah dengan demikian wartawan dapat didalihkan sebagai pihak yang selalu benar?

Sehingga dengan demikian tidak bisa dan tiada boleh mereka dicela. Wartawan sudah bekerja sebaik-baiknya, menelaah berita berdasarkan fakta di lapangan, mengutip sesuai narasumber. Namun sekali lagi, apakah wartawan dapat dikatakan pihak yang selalu benar?

Hemat saya, tiada lah kebenaran yang hakiki itu. Relatif, kalau kata Albert Einstein. Hanya Tuhan yang Mahabenar ujar para teolog. Sesuatu yang sulit diukur, walau bukan mustahil diperhitungkan.

Saya percaya bahwa rekan jurnalis terlepas dari segala kepentingan dan tuntutan, pada dasarnya mengumbar berita guna menjadi informasi yang berguna bagi khalayaknya. Namun perlu kita ingat, jurnalis juga manusia. Ia tak luput dari kesalahan. Jurnalis berfungsi sebagai watchdog pemerintahan, penyambung lidah antara pemangku dan penduduk. Selaku pilar demokrasi keempat, atas nama demokrasi, kedaulatan tertinggi di tangan rakyat. Berarti, pers yang notabenenya demokratis, bertanggungjawab kepada rakyat.

Hak Jawab
Rakyat memiliki hak jawab, jurnalis wajib menghormati off the record. Khalayak pembaca, pemirsa, baik yang berpendidikan maupun kurang bahkan tidak terpelajar berhak memperbaiki kekeliruan yang dilakukan para jurnalis. Benar, pasti profesionalitas jurnalis lebih mengerti pengolahan berita : teknik mewawancara, memilah narasumber, mengutip ungkapan, kode etik, cover both or multi side, sampai kepada penyeleksian kata-kata menjadi rangkaian kalimat untuk disajikan ke hadapan khalayak. Namun bukan berarti pengetahuan dan kecakapan profesional ini boleh mengabaikan hak kaum awam dan atau non-profesional dalam menggunakan hak jawabnya. Tetap, khalayak berhak memperoleh kebenaran yang akurat, dan pihak pewarta berkewajiban menyajikan fakta yang layak untuk itu.

Ejaan yang disempurnakan, perluasan dan penyempitan akan suatu istilah tentu lebih dipahami para jurnalis yang berkubang dalam dunia tulis-menulis ini. Penyajian berita yang faktual seturut perkembangan jaman menjadi kebanggaan mereka. Namun bagaimana bisa diksi mereka begitu ketinggalan jaman?

Ospek (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus), misalnya dikenal oleh angkatan tua sebagai masa orientasi mahasiswa/i baru yang lekat dengan kekerasan-senioritas. Di mana penyajian kebenaran yang dibangga-banggakan wartawan ketika kegiatan Ospek ini telah ditinggalkan dan yang ada hanya PMB (Penerimaan Mahasiswa Baru). PMB yang dijalani dengan menyenangkan dan keakraban senior dan junior. Bukankan diksi begitu dijunjung tinggi dalam dunia jurnalistik? Di manakah diksi yang menerapkan asas praduga tak bersalah itu? Bagaimana bisa hanya karena sebuah diksi yang keliru merusakkan susu sebelanga? Tercoreng nama satu institusi perguruan tinggi yang nyatanya karena oknum bukan karena Ospek. Kepada siapa loyalitas jurnalis sepatutnya ditujukan, kepada khalayak ataukah budaya populer?

Move On dari Kekerasan
Pers memiliki sejarah panjang nan penting kedudukannya dalam proses kenegaraan di Indonesia. Jatuh bangun sejak era kolonial, Orde Lama (Orla), Orde Baru (Orba) hingga era reformasi dan kini demokrasi. Masih, HAM dan keadilan bagi pers terabaikan. Kasus-kasus kekerasan terhadap pers serupa kasus pembunuhan Jurnalis Harian Bernas Fuad Mohammad Syafruddin, Jurnalis Harian Sinar Pagi Naimullah, Jurnalis Asia Press Agus Mulyawan, Jurnalis RCTI Ersa Siregar yang hingga kini tidak kunjung tuntas, nampaknya belum membuat negeri ini jera mengubur kebenaran, menggerakan sejarah peradaban bangsa menuju madani. Belum move on, istilahnya.

Sering kali, menjadi sebuah tantangan besar bagi wartawan di pelbagai kalangan di mana pun mereka berada untuk menyiarkan fakta konflik. Tidak jarang, nyawalah taruhannya. Persinggungan akan pemberitaan antara jurnalis dan khalayak tidak hanya terjadi dalam dunia profesional. Akhir-akhir ini, pers pra-profesional, yakni pers mahasiswa (persma) acapkali mengalami tekanan yang serupa.

Jumat, 23 Agustus lalu contohnya terjadi pemukulan terhadap anggota persma Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Didaktika oleh 5 oknum mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK) UNJ. Pemicunya ialah ketidaksenangan mereka terkait pemberitaan kasus perkelahian antara mahasiswa baru FIK dan mahasiswa Fakultas Ekonomi (FE) yang dimuat Didaktika dalam buletin Warta MPA 2013 Edisi IV artikel MPA, Riwayatmu Kini yang ditulis oleh reporter Didaktika Chairul Anwar.

Hemat saya, sah-sah saja melancarkan kritik sosial kepada media yang bersangkutan. Asal, mengikuti aturan yang berlaku. Dalam dunia jurnalistik, dikenal kaidah-kaidah untuk menyampaikan kritik dan saran pembaca kepada redaksi media yang bersangkutan, yakni melalui surat pembaca yang merupakan kolom hak jawab pembaca atas kekeliruan pemberitaan yang diterbitkan media tersebut.

Ini negara hukum, Bung. Apa bedanya hakim-hakim (yang notabenenya) profesional di sana dengan oknum garis keras tersebut di atas jika sama-sama main hakim sendiri?

Seperti yang tertera dalam UU Pers No.40 tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), pers wajib menghormati dan memberikan akses yang proporsional bagi masyarakat menyampaikan tanggapan dan sanggahan akan suatu karya jurnalistik yang melanggar KEJ, terutama kekeliruan dan ketidakakuratan fakta yang merugikan nama baik kepada pers melalui suatu hak yang disebut hak jawab.
 
Naah, di poin keduanya juga dijelaskan, “hak jawab berasaskan keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas dan profesionalitas.” Jadi, selaku khalayak beradab yang melek hukum, yang pastinya juga tidak mau disalahi media, seyogianya move on dari jalan keras yang, sudahlah, tahu sendiri, tiada guna dilakukan terhadap nyamuk pers. Jasmerah, belajarlah dari sejarah.

Kesimpulan
Berbesar hati untuk sebuah kekeliruan merupakan hal yang wajib dijunjung. Terkadang, dibutuhkan kegagalan-kegagalan untuk mengajarkan kita konsistensi dan kontinuitas.

Sebuah kritik sosial merupakan umpan balik pembangunan masyarakat berbangsa dan bernegara yang sepatutnya kian beradab. Kekerasan bukan opsi, selain keberanian yang keliru.

Sampai kapan kebenaran harus disatukan? Apakah dua kutub yang sama bisa saling terpaut satu sama lain? Mana yang Anda pilih, berjalan dalam keberadaban yang beragam atau kebiadaban dalam persekutuan? (SIL, Kontributor)

About Author

Advertisement

Posting Komentar

 
Top